Meski 10 tahun berlalu, karya-karyanya masih kerap dipertunjukkan kembali di beberapa pementasan.
Rendra, pada perjalanannya, tak hanya mendapatkan puja-puji.
Ia juga pernah dicaci dan dimaki. Namun, hal ini tak menyurutkan gairahnya untuk terus berkarya.
Ini kenangan akan sosoknya...
Willibordus Surendra Rendra atau yang akrab dipanggil WS Rendra merupakan seniman Indonesia yang lahir di Solo pada 7 November 1935.
Sejak tulisannya tayang di Majalah Kisah, Budaya, dan Basis mulai tahun 1954, namanya mulai dikenal.
Arsip Harian Kompas yang diterbitkan pada 20 Agustus 1975, menyatakan, saat itu juga, rentetan karyanya lahir seperti Ballada Orang-orang Tercinta (1957) yang merupakan kumpulan balada yang ditulis Rendra pada usia 20 tahun dan Rendra: 4 Kumpulan Sajak (1961).
Selain itu, ia juga menerbitkan kumpulan sajak, seperti Disebabkan oleh Angin, Tjerita untuk Bonny, dan Asap Api di Mata.
Kecintaannya pada dunia seni juga mewujud lewat berbagai pementasan drama, antara lain Mahabrata, Bip-Bop (1968), Menunggu Godot (1969, Dunia Azwar (1971), serta karya kontroversialnya Mastodon dan Burung Kondor dan Sophocles. Sembari menggeluti dunia sandiwara Rendra juga menempuh pendidikan di New York, Amerika Serikat.
Harian Kompas 19 Juli 1967, menyebutkan, selama di New York, keluarga Rendra memiliki dua orang anak yakni Samuel Musa dan Clara Sinta.
Sementara itu, arsip Harian Kompas, 23 Agustus 1967, menuliskan, Rendra juga merupakan orang Indonesia pertama yang mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan drama di America Academy of Dramatic Art.
Pendidikan ini ditempuhnya dalam waktu dua tahun, tepatnya pada1964-1966.
Selain drama, Rendra juga mempelajari gerak indah dan latihan improvisasi di Erdman's School of The Dance.
Setelah tiba di Tanah Air, Rendra mengajar Drama di Fakultas Sastra Barat GAMA Jogja.
Adapun, dalam mengembangkan kelasnya, Rendra dibantu oleh seorang asisten yang juga seniman, Arifin C. Noor.
Rendra juga mendirikan Bengkel Teater yang mewadahi seniman-seniman drama.
Seniman yang dijuluki "Si Burung Merak" itu juga pernah diundang oleh Association of Authors atau perhimpunan pengarang Australia.
Asosiasi tersebut mengajak Rendra untuk menghadiri seminar yang mereka selenggarakan di Melbourne pada Oktober 1972.
Tak hanya itu, kumpulan puisi karyanya juga terbit di Kuala Lumpur, Malaysia.
Buku setebal lebih dari 200 halaman tersebut berisi kumpulan puisi Rendra dari berbagai macam periode.
Penghargaan terhadap karyanya juga mengalir dari Akademi Jakarta berupa hadiah seni pada tahun 1975.
Mengutip Harian Kompas 23 Agustus 1975, Ketua Akademi Sutan Takdir Alisjahbana dalam sambutannya mengungkapkan pemberian hadiah tidak ditujukan kepada salah satu karya Rendra semata, namun sebagai penghagaan atas kehadirannya sebagai seniman, penyair, dramawan, dan pembaca sajak.
Kontroversi
Sosok Rendra dikenal vokal dalam menyuarakan isu-isu sosial.
Rendra pernah ditangkap bersama dengan dua orang rekannya, Azwar AN dan Maradjani Hutasuhut oleh Petugas Komando Garnisun Ibu Kota.
Selama satu malam, mereka bertiga menginap di tahanan.
Penangkapan ini terjadi saat mereka mengadakan tirakatan di jalur hijau di Jalan Thamrin tepatnya di depan Wisma Warta.
Para petugas yang ada lalu memerintahkan mereka untuk membubarkan diri.
Bahkan, Kepala Kepolisian Negara yang saat itu dijabat oleh Hoegeng.
Saat itu, ia menyatakan penangkapan Rendra dan kawan-kawannya karena acara tersebut disinyalir ditunggangi oleh pihak ketiga.
Pada Mei 1978, ia pernah ditahan oleh Laksusda Jaya.
Menurut Pangkopkamtib Laksamana Sudomo, penahanan Rendra karena seniman ini dianggap menghasut orang dengan pembacaan puisinya di Taman Ismail Marzuki.
Menurut catatan Harian Kompas, 5 Mei 1978, Laksusda Jaya Letkol Anas Malik mengatakan, Rendra melalui puisinya dapat merusaka suasana ketertiban di ibu kota.
Ia dibebaskan 5 bulan setelahnya, yakni pada 15 Oktober 1978.
Selain ditangkap, karya-karya seniman ini juga pernah dilarang.
Menurut Harian Kompas yang terbit pada 18 Oktober 1973, pementasan teater dengan cerita Matodon dan Burung Condor terpaksa dibatalkan.
Pihak kepolisian Yogyakarta saat itu tidak meluluskan permohonan atas permintaan tersebut.
Menurut kepolisian, izin tidak diberikan karena Rendra dan Bengkel Teater berencana untuk mementaskannya mulai tengah malam, dengan jangka waktu pementasan hingga 4 jam.
Selain itu, waktu pentas juga bertepatan dengan bulan puasa.
Meski izin dari Dinas Kebudayaan dan kepolisian tak kunjung diberikan, namun pihak Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada saat itu meminta pertunjukan drama Mastodon dan Burung Condor tetap dipentaskan.
Akan tetapi untuk kedua kalinya, pertunjukan ini gagal dipentaskan. Sebagai gantinya, drama ini dipentaskan di Istora Senayan.
Rendra mengungkapkan, karyanya ini mengambil lokasi di suatu negara di Amerika Latin, Mastodon.
Kisahnya sendiri berkutat pada konflik segitiga antara pihak militer, mahasiswa, dan seniman yang terdiri dari 21 bagian.
Namun, bukan Rendra jika pementasannya tidak dilarang.
Meski sering berurusan dengan pihak berwajib, ia juga mengulangi hal serupa.
Pementasannya yang berjudul Oedipus Berpulang dilarang kembali oleh pihak kepolisian Yogyakarta.
Menurut Harian Kompas, 8 Februari 1975, drama karya Sophocles yang diterjemahkan seniman ini digagalkan kembali lantaran diyakini naskah pementasan tidak sesuai dengan terjemahan dan atas dasar pertimbangan atasan.
Berpulang
Sastrawan ini berpulang pada Kamis 6 Agustus 2009 sekitar pukul 22.00 WIB di usia 74 tahun.
Almarhum dimakamkan di lokasi pemakaman keluarga WS Rendra di Bengkel Teater Seni WS Rendra, Cpayung, Citayam, Depok.
Makamnya hanya berjarak 10 meter dari makam Mbah Surip yang dikebumikan 3 hari sebelumnya atas izin Rendra.
Proses pemakaman berlangsung hingga pukul 16.00 WIB.
Saat itu, sekitar 1.000 orang yang terdiri dari kalangan artis, pejabat, hingga masyarakat tampak mendampingi proses pemakaman jenazah.
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/06/16162611/10-tahun-berpulangnya-ws-rendra-mengenang-karya-dan-sosoknya