Menurut Hinsa, masalah ujaran kebencian di media sosial masuk kategori etika.
“Masa urusan begitu juga harus pemerintah juga (yang urus) orang maki-maki. Itu kan masalah etika, sopan-santun, budaya,” kata Hinsa saat membuka sebuah diskusi di kantor BSSN, Jakarta, Senin (27/5/2019).
Dia menuturkan, permasalahan etika bisa diselesaikan dengan pendekatan pendidikan tata krama dan sopan santun baik di institusi pendidikan maupun lingkungan sosial. Pendidikan dan peran orang tua penting dalam mencegah penyebaran ujaran kebencian di media sosial.
Mantan purnawiranan TNI itu juga meminta para buzzer media sosial tidak memperkeruh situasi di media sosial. Hinsa mengimbau semua pihak menghentikan penyebaran ujaran kebencian.
“Kami mengimbau, tindakan-tindakan seperti itu dihentikan, tidak ada gunanya,” ujar Hinsa.
Sementara itu, penyebaran ujaran kebencian dan hoaks tercatat massif pada masa kampanye Pemilu 2019. Setelah itu, pada saat menjelang hingga setelah aksi 22 Mei 2019, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian kembali meningkat.
Meski pemerintah sudah melakukan pembatasan akses ke sejumlah platform media sosial pada 22-24 Mei, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian tidak bisa dibendung sepenuhnya.
Kemenkominfo mencatat setidaknya 30 hoaks beredar di media sosial pada 21-24 Mei 2019. Hoaks itu disebar dalam ratusan url yang tersebar di platform media sosial mainstream seperti Instagram, Twitter, dan Facebook.
https://nasional.kompas.com/read/2019/05/28/08262291/kepala-bssn-anggap-ujaran-kebencian-jadi-persoalan-etika-masyarakat