Salin Artikel

[POPULER DI KOMPASIANA] 21 Tahun Tragedi Mei 1998 | Wacana Impor Guru | Solusi Mengurai Kemacetan

JAKARTA, KOMPAS.com - Minggu ini, dari tulis Kompasianer Leya Cattleya, kita diingatkan pada peristiwa 21 tahun yang lalu: reformasi 1998.

Kala itu, krisis yang dialami Indonesia pada awal 1998 menjadikan masyarakat Indonesia tidak puas dengan kepemimpinan Presiden Soeharto. Aksi massa dari beragam kalangan terjadi hampir di setiap titik wilayah di Indonesia.

Tuntutan mahasiswa kala itu untuk untuk mengadakan reformasi di segala bidang, terutama permintaan pergantian kepemimpinan nasional. 

Hingga pada puncaknya adalah ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat kembali memilih Soeharto sebagai presiden dan dilantik pada 11 Maret 1998 dan Mahasiswa dari seluruh Indonesia menduduki Gedung MPR/DPR.

Kerusuhan yang terjadi di mana-mana menyebabkan situasi pemerintahan tidak stabil. 

Sampai hari ini masyarakat Indonesia masih mengenang peristiwa pada Mei 1998 dengan penuh duka.

"Peristiwa yang terjadi antara 13 sampai 19 Mei 1998 itu seharusnyalah menjadi penanda perjuangan kita bahwa korban harus mendapat keadilan dan pemulihan," tulis Kompasianer Leya Cattleya.

Selain mengenang peristiwa Mei 1998, pada minggu ini Kompasiana juga diramaikan dengan wacana Menko PMK, Puan Maharani yang ingin mengimpor guru dari luar negeri.

Berikut 5 artikel terpopuler di Kompasiana pekan ini:


1. Reformasi, Gerak Politik Mahasiswa Serta "Post" Milenial

Sebetulnya peristiwa Mei 1998, menurut Kompasianer Leya Cattleya, adalah satu contoh penting dari beberapa contoh keberhasilan masyarakat sipil dan mahasiswa melakukan tekanan kepada negara dan masyarakat agar melakukan perubahan mendasar.

Akan tetapi jika berkaca pada bagaimana pergerakan mahasiswa hari ini seperti kehilangan konteks dengan apa yang telah terjadi 21 tahun lalu. 

"Saya menduga 'awarenes' mahasiswa/mahasiswi tentang peristiwa reformasi 1998 terbatas. Mereka belum tentu kenal," tulis Kompasianer Leya Cattleya.

AKan tetapi nilai yang sama dengan pergerakan mahasiswa ketika melahirkan reformasi yaitu mereka punya mimpi untuk meraih cita cita dan perubahan. (Baca selengkapnya)


2. Menko Puan Maharani Ingin Undang Guru dari Luar Negeri, Bukan Berarti Impor Guru

Kompasianer Umi Yati menjelaskan kalau banyak yagn keliru dengan rencana pemerintah mengundang guru dari luar negeri.

Rencana mendatangkan guru dari luar negeri tersebut, lanjutnya, tidak ada kaitannya dengan kualitas guru di Indonesia. Apalagi kaitannya dengan guru yang masih berstatus honorer.

"Sekedar contoh, bisa saja salah satu guru yang dibutuhkan adalah pengajar bahasa inggris. Dengan demikian anak-anak murid kita bisa belajar dengan native speaker, yang selama ini hanya bisa dinikmati oleh sekolah-sekolah berstandar internasional," tulis Kompasianer Umi Yati.

Kita harus bijak dalam melihat rencana baik pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, lanjutnya. (Baca selengkapnya)


3. Wacana Impor Guru hingga Rendahnya Minat Milenial Menjadi Guru

Berbeda dengan Kompasianer Umi Yati melihat rencana guru dari luar negeri, apa yang menjadi catatan kritis dari Kompasianer Idris Apandi adalah minat orang-orang untuk menjadi guru.

Menurutnya, sektor pendidikan sebenarnya diharapkan menjadi lokomotif peningkatan mutu dan daya saing bangsa. 

"Oleh karena itu, diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas," tulis Kompasianer Idris Apandi.

Sedangkan di sisi lain, lanjutnya, banyak generasi millenial yang potensial dan cerdas justru tidak tidak tertarik menjadi guru. 

"Realitanya demikian, harapan untuk mendapatkan guru yang berkualitas seperti halnya di negara seperti Finlandia atau Korea Selatan sulit untuk terwujud," tulisnya. (Baca selengkapnya)


4. Zaken Kabinet Pemerintahan Jokowi, Mungkinkah?

Di tengah kegaduhan politik pasca-pencoblosan Pemilu serentak kemarin, kini mulai kencang berhembus kabar evaluasi kinerja di tubuh kabinet kerja Jokowi.

Meskipun sebelumnya eskalasi isu reshuffle Kabinet Kerja sudah berjilid-jilid, tulis Kompasianer Shulhan Rumaru, namun rasanya Jokowi tak bosan untuk terus meracik kabinet terbaiknya.

"Di sisi lain, perombakan formasi ini dianggap niscaya bagi Jokowi karena beliau ingin mempertimbangkan pendatang baru dalam kabinetnya, terutama kaum milenial," lanjutnya.

Model ini tentu hanya bisa direalisasikan jika Jokowi mampu membentuk kebinet kerja atau kabinet ahli (zaken cabinet) sebagaimana diharapkan banyak orang. (Baca selengkapnya)


5. Mengurai Kemacetan dengan "Membayar Lebih"

Menjadi penduduk kota termacet ke-12 di dunia, sekaligus penyabet peringkat pertama dalam kategori yang sama di Indonesia, tulis Rosalia Marcha Violeta anggota dari Kanopi FEBUI, bukanlah suatu pencapaian yang patut dibanggakan.

Rosalia Marcha Violeta mencontohnya bagaiamana di kota New York, Amerika Serikat sudah mulai mencari solusi atas kemacetan dengan menganggarkan penerapan kebijakan congestion pricing atau biaya kemacetan pada tahun 2020 mendatang.

"Kebijakan ini akan mengharuskan para pengendara kendaraan bermotor untuk membayar biaya yang tinggi untuk berkendara melalui area-area "tersibuk" di kota yang mengimplementasikannya," tulisnya.

Penagihan biaya akan dilakukan dengan memasang sistem tol elektronik disertai penetapan harga yang disesuaikan dengan tingkat kemacetan rata-rata pada waktu tertentu. 

Artinya, pengemudi akan membayar lebih mahal pada jam sibuk dan lebih murah di akhir pekan ketika jalan raya relatif lebih lengang. (Baca selengkapnya)

https://nasional.kompas.com/read/2019/05/19/09132031/populer-di-kompasiana-21-tahun-tragedi-mei-1998-wacana-impor-guru-solusi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke