Menurut mantan Komandan Jenderal Kopassus tersebut, dalam konteks saat ini, cita-cita dari seruan revolusi dan people power itu tidak akan terwujud.
“Sekarang ini, sangat sulit mengatasnamakan rakyat untuk melakukan tindakan-tindakan yang inkonstitusional seperti itu,” ujar Agum saat dijumpai di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Jumat (10/5/2019).
Seruan revolusi misalnya. Menurut Agum, revolusi hanya dapat diarahkan kepada kaum penjajah dalam rangka merebut kemerdekaan. Cara tersebut pernah dilakukan rakyat Indonesia dalam mengusir penjajah dari Nusantara.
Namun kini, bangsa Indonesia sudah merdeka. Rakyat dan pemerintah tinggal bersama-sama mengisi kemerdekaan dengan pembangunan.
Sementara mengenai people power, Agum juga mengatakan, seruan itu hanya dapat berlaku terhadap pemerintahan yang otoriter alias diktator.
“Tapi lihat sekarang, Pak Jokowi dengan pemerintahannya di mata masyarakat kita, 70 persen lebih itu merasa puas dengan apa yang dikerjakan. Ingat, people power itu adalah ungkapan perasaan tidak puas mayoritas rakyat terhadap rezim yang berkuasa,” ujar Agum.
“Katakanlah waktu 1998. Mayoritas rakyat memang tidak puas dengan situasi dan kondisi yang ada saat itu. Maka muncullah, yang tadinya riak-riak, kemudian terjadi krisis moneter. Riak-riak ini berubah menjadi gelombang people power,” lanjut dia.
Bahkan, pada Pemilu 2019, berdasarkan hitung cepat sejumlah lembaga survei menunjukkan bahwa Jokowi yang didampingi Kiai Haji Ma’ruf Amin masih dipercaya untuk kembali menjabat Presiden pada periode 2019-2024.
“Jadi, dari syarat pertama people power atau revolusi itu saja sudah tumbang,” ujar Agum.
Ia pun berharap tokoh-tokoh yang menyerukan tersebut tidak lagi melakukan provokasi terhadap masyarakat.
https://nasional.kompas.com/read/2019/05/10/15412251/agum-gumelar-syarat-pertama-people-power-dan-revolusi-sudah-tumbang