Salin Artikel

Quick Count, "Kambing Hitam" dalam Pilpres 2019

Meski hasil itu bukan hasil resmi, namun gambaran kemenangan Jokowi-Ma'aruf sudah tampak di pelupuk mata.

Seakan berulang, cerita pemilu kali ini sama halnya dengan Pemilu 2014 yang menyisakan drama. Dalam Pemilu 2014, narasi perdebatan yang terjadi adalah perbedaan hasil quick count di antara dua kubu yang berkompetisi.

Kali ini, narasi perdebatannya adalah antara hasil quick count dan real count. Tim Badan Pemenangan Nasional (BPN), melalui Prabowo, menyatakan bahwa berdasarkan real count, calon presiden nomor urut 02 itu unggul 62 persen.

Sebenarnya, problematika perbedaan dalam menanggapi hasil survei ini bukan hal baru. Hal semacam ini telah terjadi jauh sebelum kita melihatnya dalam pilpres kali ini.

Quick count vis a vis real count

Quick count atau hitung cepat mungkin istilah yang paling populer belakangan ini, sampai-sampai tak ayal diplesetkan di segala aspek hidup masyarakat.

Quick count sebetulnya menjadi metode ampuh dan dapat diandalkan dalam memantau perkembangan suara di hari pemilihan sebagai evaluasi kualitas keseluruhan dari proses pemilihan dan memproyeksikan hasil pemilihan resmi.

Hitung cepat juga dapat menjadi pusat dramatisasi dan pertaruhan tinggi di antara kubu yang berkompetisi.

Namun, dalam beberapa studi yang dilakukan oleh National Democratic Institute for International Affairs (NDI) di Amerika, quick count justru mencegah terjadinya konflik dalam pemilu dan secara signifikan membantu orang agar hak-hak politiknya dihargai.

Studi kasus pemilihan di Filipina pada 1986 dan Panama tahun 1989, quick count digunakan untuk melindungi dan membela hak-hak sipil dan politik rakyat karena adanya upaya-upaya kecurangan dalam pemilu.

Kasus pemilu Panama 1989, misalnya, Archdiocese Commission for the Coordination of Laity, sebuah organisasi Katolik, melakukan hitung cepat secara independen untuk mengalahkan Manuel Noriega, yang berusaha menutupi kekalahannya dan berupaya mengumumkan hasil palsu dalam pemilu 1989.

Contoh lain, pemilu di Bulgaria 1990, quick count memungkinkan para kompetitor dalam pemilu untuk menerima kekalahan maupun hasil yang mengejutkan karena hasilnya berbeda dengan survei opini jelang hari pemilihan sebab saat itu pemilu pertama pascaera komunis.

Partai sosialis, yang dulunya komunis, diyakini kalah dari partai oposisi gabungan (UDF), namun dalam pemilihan yang terjadi adalah sebaliknya.

Hal ini menimbulkan ketegangan dan meruaknya demonstrasi. The Bulgarian Association for Fair Elections and Civil Rights (BAFECR) kemudian melakukan quick count yang menunjukkan kekalahan secara adil pihak oposisi yang membuat demonstrasi mereda.

Hasil survei quick count pada Pilpres 2019 dari kurang lebih sembilan lembaga survei memenangkan Jokowi-Ma'aruf.

Survei quick count tersebut dilakukan dengan mengambil sampel dari 1.000 sampai dengan 8.000 tempat pemungutan suara (TPS) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Lembaga-lembaga survei tersebut meyakini bahwa quick count yang mereka hasilkan dapat dipercaya karena berdasarkan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan dan menggunakan metodologi sampling yang tersebar merata.

Adapun survei internal BPN mendapati data real count suara mereka unggul 62 persen yang diambil dari 340.000 TPS.

Praktis, kubu Prabowo-Sandi dan pendukungnya tidak memercayai hasil quick count karena berdasarkan data sampel semata dan sebaliknya meyakini hasil survei real count oleh BPN, sehingga disimpulkan bahwa quick count tidak kredibel dan hanya alat untuk menggiring opini publik.

Dalam melihat fenomena ini, menarik untuk merujuk salah satu penelitian klasik yang pernah dilakukan terhadap hasil survei.

Penelitian heuristik

Maya Bar-Hillel (1982) melalui penelitiannya tentang heuristik representatif di bidang psikologi mengevaluasi bagaimana penilaian orang terhadap sampel dan ukuran sampel untuk melihat seberapa representatifnya sampel tersebut.

Dalam penelitiannya, Hillel (1982) menguji coba dua hasil survei yang menyatakan jumlah suara pemilih pada referendum.

Survei A disebutkan mengambil sampel 400 individu. Survei B disebutkan mengambil sampel 1.000 individu. Keduanya menggunakan metodologi yang sama.

Subjek kemudian diminta memilih hasil survei mana yang paling dipercaya dan diyakini antara survei A, survei B, atau keduanya sama.

Hasilnya, dari 72 subjek, 80 persen menyatakan percaya pada survei B, 4 persen percaya pada survei A, dan sisanya sama.

Kesimpulannya, orang memang lebih percaya dan yakin pada sampel besar dalam menilai hasil survei walaupun sama-sama telah mengikuti metodologi sampling yang benar.

Untuk kasus Pilpres 2019, Prabowo-Sandi dengan pendukungnya meyakini bahwa survei internal mereka adalah berdasarkan data real count yang bersumber dari 340.000 TPS, jauh lebih banyak dari sampel TPS yang dilakukan lembaga-lembaga survei yang memenangkan Jokowi-Ma'aruf.

Tidak mengherankan, data ini dapat memengaruhi penilaian pendukungnya sehingga memercayai klaim kemenangan Prabowo-Sandi. Lantas, bagaimana pendukung Prabowo-Sandi ini bisa percaya?

Kondisi ini mengingatkan akan pernyataan Kahneman dan Tversky (1982) dalam bukunya Judgement under Uncertainty: Heuristics and Biases yang mengatakan bahwa orang menilai secara heuristik dan bias jika berhadapan dengan ketidakpastian.

Penilaian heuristik sendiri adalah penilaian yang otomatis, cepat, dan mencari jalan pintas dalam kognisi seseorang untuk menilai suatu informasi yang diterimanya dalam situasi yang tidak pasti. Sampel atau ukuran sampel merupakan informasi yang sangat mudah mengaktifkan penilaian heuristik seseorang.

Para pendukung Prabowo-Sandi saat ini sedang berada dalam situasi tidak pasti, antara menang dan kalah dalam Pilpres 2019.

Ketika ada harapan untuk menjawab ketidakpastiannya, yaitu menang sesuai real count yang sumber datanya dari jumlah TPS, lebih banyak dari sampel TPS lembaga-lembaga survei lainnya, maka penilaian heuristik secara aktif bekerja untuk menyimpulkan suatu informasi dengan jalan pintas.

Selain karena mereka simpatisan, penilaian inilah yang membuat mereka percaya dan yakin klaim kemenangan yang dinyatakan itu benar.

Sayangnya, penilaian semacam ini prematur, bias, dan hanya mencari kemudahan. Hasilnya, metodologi survei dan sampling seakan tidak dipertimbangkan lagi menjadi dasar akademis dalam memprediksi opini publik dan cenderung mengambinghitamkan hasil quick count sebagai alat untuk menggiring opini publik.

Sesungguhnya, Prabowo-Sandi dan pendukungnya tidak serta-merta keliru. Hasil quick count memang secara konstitusi bukan yang menentukan hasil Pemilu 2019 sehingga ketidakpercayaan akan quick count sah-sah saja.

Oleh karena itu, untuk menghindari bias informasi di kalangan publik, alangkah bijaknya jika kedua kubu menunggu terlebih dahulu hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena keputusan KPU-lah yang sah dan legitimate menentukan hasil pemilu.

Namun, di atas itu semua, yang terpenting adalah fakta bahwa Pemilu 2019 telah berlangsung dengan aman dan damai bagi kemaslahatan bangsa Indonesia. Selamat dan sukses untuk pesta demokrasi Indonesia di tahun 2019.

https://nasional.kompas.com/read/2019/04/22/15572041/quick-count-kambing-hitam-dalam-pilpres-2019

Terkini Lainnya

 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Nasional
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Nasional
Ditanya soal Ikut Dorong Pertemuan Megawati-Prabowo, Jokowi Tersenyum lalu Tertawa

Ditanya soal Ikut Dorong Pertemuan Megawati-Prabowo, Jokowi Tersenyum lalu Tertawa

Nasional
Berhaji Tanpa Visa Haji, Risikonya Dilarang Masuk Arab Saudi Selama 10 Tahun

Berhaji Tanpa Visa Haji, Risikonya Dilarang Masuk Arab Saudi Selama 10 Tahun

Nasional
Kuota Haji Terpenuhi, Kemenag Minta Masyarakat Tak Tertipu Tawaran Visa Non-haji

Kuota Haji Terpenuhi, Kemenag Minta Masyarakat Tak Tertipu Tawaran Visa Non-haji

Nasional
Sengketa Pileg, Hakim MK Sindir MU Kalah Telak dari Crystal Palace

Sengketa Pileg, Hakim MK Sindir MU Kalah Telak dari Crystal Palace

Nasional
Wakil Ketua MK Sindir Nasdem-PAN Berselisih di Pilpres, Rebutan Kursi di Pileg

Wakil Ketua MK Sindir Nasdem-PAN Berselisih di Pilpres, Rebutan Kursi di Pileg

Nasional
PDI-P Berada di Dalam atau Luar Pemerintahan, Semua Pihak Harus Saling Menghormati

PDI-P Berada di Dalam atau Luar Pemerintahan, Semua Pihak Harus Saling Menghormati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke