Banyak penyebab praktik yang menjadikan hewan liar dan langka ini sebagai obyek tontonan, terutama untuk mendapatkan keuntungan.
Direktur Investigasi Scorpion Wildlife Monitoring Group, Marison Guciano menilai bahwa regulasi masih terbilang lemah, sehingga menyebabkan penyiksaan terhadap hewan dalam sirkus atau pertunjukan terjadi.
Salah satu regulasi adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.52/Menhut-II/2006 tentang Peragaan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi. Aturan itu kerap digunakan para pengelola untuk menghadirkan sirkus hewan.
"KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) berperan memberi izin konservasi, para pengelola sirkus diperkenankan untuk melakukan peragaan satwa, tapi kan yang terjadi itu sirkus," kata Marison, saat dihubungi Kompas.com pada Jumat (22/2/2019).
Hewan-hewan yang jatuh ke tangan para pengelola pertunjukan kemudian dilatih dengan sedemikian rupa hingga mampu melakukan sesuatu di luar perilaku alamiahnya.
Pelatihan
Menurut Marison, hewan-hewan ini diberikan pelatihan yang menyiksa tubuh juga kebebasan mereka. Mereka diajari untuk mematuhi perintah dan melaksanakannya.
Apa yang diajarkan pada mereka adalah segala sesuatu yang tidak pernah dan sebenarnya tidak akan pernah mereka lakukan di alam liar.
Misalnya, gajah dipaksa berdiri dengan dua kaki, beruang naik sepeda, monyet menghitung, lumba-lumba melompat lingkaran api, dan sebagainya.
Semua itu di luar perilaku alamiah para hewan. Untuk bisa melakukan itu semua, tentu mereka harus melewati pelatihan yang keras dan mengerikan.
Jadi, menurut Marison, keliru jika kita menyebut hewan di panggung sirkus itu bertingkah "lucu dan menggemaskan". Mereka teraniaya tanpa kita tahu.
"Kenapa setiap pelatih binatang membawa makanan di panggung pertunjukan? Itu untuk memaksa si hewan melakukan atraksi. Hewan ini kelaparan, mereka belum diberi makan. Dan melakukan atraksi adalah satu-satunya yang bisa dilakukan untuk mendapatkan makanan," ujar Marison.
Alasan kedua dan ketiga sedikit banyak berhubungan, takut dan sakit. Hewan-hewan sirkus akan mengikuti perintah pelatih karena terbayang kesakitan yang diterimanya selama pelatihan.
Cambuk, angkusa (palu lancip untuk gajah), rantai, dan semua peralatan yang digunakan pelatih menyisakan trauma dan rasa sakit pada hewan-hewan ini.
Karena alasan-alasan itulah mereka menuruti setiap perintah sang pelatih. Tidak ada pilihan lain untuk mendapatkan makan dan terbebas dari hukuman.
Dalam surat itu dituliskan, setelah dilakukan observasi, banyak ditemukan bekas luka pada tubuh gajah akibat dipukul menggunakan angkusa. Luka itu diakibatkan oleh perlakuan pegawai yang bertugas di sana.
Gajah-gajah juga terlihat dirantai, sehingga pergerakannya sangat terbatas. Ia tidak bisa bersosialisasi, berjalan, dan beristirahat di tempat yang ia kehendaki. Ini bisa menyebabkan kebosanan dan stres.
Di Way Kambas, gajah dimanfaatkan untuk menjadi alat transportasi dan ditunggangi oleh manusia. Mereka menjadi satu wahana wisata tersendiri.
Padahal, gajah tidak memiliki kemampuan untuk itu. Tulang belakangnya tidak kuat menopang manusia dalam waktu berkepanjangan. Gajah bukan kuda yang secara fisik memang bisa digunakan sebagai hewan tunggangan.
"Gajah-gajah yang ada di Way Kambas, banyak yang ditangkap karena berkonflik dengan masyarakat," kata Marison.
https://nasional.kompas.com/read/2019/02/22/17354871/berbagai-alasan-sirkus-hewan-masih-ditemukan-salah-satunya-regulasi-lemah