Salin Artikel

Debat Capres-Cawapres untuk Siapa?

Pertama, publik dapat melihat sejauh mana visi-misi pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-Makruf Amin maupun nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga Uno dalam rencananya memimpin Indonesia.

Kedua, menjadi referensi bagi swing voters, pemilih pemula untuk menentukan pilihannya.

Tujuan pertama mungkin terwujud. Indikatornya, jalan-jalan Jakarta bertambah macet pada 17 Januari 2019 karena rata-rata warga ingin pulang pada jam yang hampir bersamaan untuk menonton debat pertama Pemilihan Presiden 2019.

Acara nonton bareng juga dilaksanakan di beberapa titik. Dunia maya gegap gempita, debat capres viral. Warganet aktif berkomentar, membuat meme baik apresiasi maupun sindiran kepada masing-masing calon terkait jawaban serta pernyataan yang disampaikan.

Normatif

Harapan publik akan adanya pemaparan visi-misi dan rencana kedua pasangan calon (paslon) jika diberi amanah memimpin dalam konteks penegakan hukum, hak asasi manusia (HAM), korupsi, dan terorisme berakhir antiklimaks, kendati kisi-kisi pertanyaan sudah disampaikan jauh sebelum debat.

Publik justru disuguhi debat normatif, mengedepankan ego dan perasaan masing-masing kandidat, bahkan ada yang beranggapan bahwa ini layaknya obrolan biasa yang tidak jelas juntrungannya dengan biaya termahal.

Pada isu hukum, misalnya. Belum ada upaya konkret dari kedua calon terkait permasalahan hukum yang selama ini terjadi. Contohnya tumpang tindih aturan dan kewenangan serta semakin menguatnya tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat yang akhir-akhir ini semakin menguat, preksekusi, dan intimidasi.

Justru yang muncul adalah ego. Misalnya pasangan Jokowi-Ma'ruf, yang menyindir lawannya dengan menggunakan kasus operasi plastik sebagai tindakan reaksioner.

Adapun Prabowo-Sandi merasa bahwa hukum berat sebelah, dengan menganalogikan kasus kepala desa di Jawa timur yang ditahan karena mendukungnya, sementara kepala daerah lain yang jelas mendukung Jokowi-Makruf lepas dari hukuman.

Publik dipaksa melihat seolah-olah penduduk Indonesia hanya terdiri dari dua kubu, pendukung 01 dan 02.

Padahal, kasus-kasus hukum yang terjadi di masyarakat lebih layak ditampilkan. Ambillah contoh kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan, preksekusi atas nama agama dan golongan, diskriminasi terhadap pelaku tindak kejahatan yang masih melihat status sosial. Demikian pula kasus-kasus lain yang dialami oleh sebagian warga negara.

Harusnya publik disajikan bagaimana upaya-upaya pencegahan agar tindakan pelanggaran hukum, kriminalisasi, sehingga memberikan rasa aman bagi seluruh warga negara, bukan hanya golongannya.

Bagaimanapun, mereka akan menjadi Presiden Republik Indonesia, bukan hanya presiden bagi cebong (istilah untuk pendukung Jokowi-Ma'ruf) atau kampret (istilah untuk pendukung Prabowo-Sandi) saja.

Dari sisi pelanggaran HAM juga demikian. Alternatif solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan persoalan HAM masa lalu juga tidak konkret.

Publik juga belum disajikan rencana kebijakan terkait pencegahan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara agar warga negara tidak menjadi korban.

Pun demikian pada isu pemberantasan korupsi, yang menjadi salah satu momok bagi implementasi governance dan demokrasi. Publik justru disajikan konsep yang sudah usang, di mana korupsi masih dianggap wajar jika kerugian negara tidak seberapa.

Pada sisi lain, definisi korupsi juga hanya dianggap hanya sebatas by need. Maka, solusinya adalah dengan meningkatkan gaji pejabat publik dan aparatur sipil negara.

Sumber anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan pejabat dari tax ratio yang saat ini masih berkisar 10 persen menjadi 16 persen.

Padahal, masih ada korupsi yang dilatarbelakangi by greed. Ini yang berbahaya karena keserakahan tidak terbatas.

Seperti yang pernah disampaikan oleh Mahatma Gandi, bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh manusia, tapi tidak cukup untuk memuaskan keserakahan satu orang.

Pada sisi lain, incumbent tidak menawarkan upaya konkret pemberantasan korupsi selain memperkuat, menambah anggaran untuk pencegahan korupsi.

Padahal petahana dapat secara terstruktur menawarkan upaya pemberantasan berdasarkan pengalaman memimpin selama 4 tahun lebih.

Salah satu contohnya adalah membuat aturan yang menjerakan para pelaku korupsi. Bagaimanapun kecenderungannya saat ini justru pelaku korupsi mendapat hukuman yang cenderung lebih ringan dibanding sebelumnya.

Usulan paslon 02 yang ingin menambah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di daerah justru berpotensi menambah birokrasi dan memperbesar potensi tumpang tindih kewenangan.

Karena, di daerah sudah ada kejaksaan dan kepolisian yang salah satu tugasnya adalah melakukan penegakkan hukum di sektor korupi.

Pekerjaan rumah bagi presiden terpilih adalah bagaimana membuat regulasi sebagai acuan untuk mengefektifkan koordinasi antaraparat penegak hukum karena selama ini potensi tumpang tindih kewenangan antarpenegak hukum cukup tinggi.

Paling penting bagi KPK adalah bagaimana pemimpin terpilih memastikan agar kewenangan yang selama ini dimiliki tidak dikebiri, komisionernya tidak dikriminalisasi. Misalnya dalam hal penyadapan, pengangkatan penyidik dan lain-lain.

Hal itu penting karena dari tahun ke tahun, kewenangan KPK selalu dipermasalahkan sehingga fokus dalam melaksanakan pencegahan maupun pemberantasan korupsi terganggu.

Publik juga ingin mendengar terobosan atau inovasi yang dilakukan oleh kedua paslon dalam hal hukuman.

Usulan mengucilkan terpidana korupsi di pulau terpencil untuk menambang pasir terus-menerus mengembalikan konsep hukuman pengasingan zaman penjajahan, ketika Soekarno diasingkan ke Boven Digoel, atau hukuman bagi tahanan politik di Pulau Buru yang berpotensi melanggar HAM.

Sebaliknya, paslon 01 yang memiliki pengalaman seharusnya sudah tahu apa yang harus dilakukan ke depan untuk membuat jera koruptor. Misalnya, mengoptimalkan penggunaan pasal pencucian uang, perampasan aset, serta konsep-konsep lain yang menjadikan pelaku berpikir seribu kali sebelum korupsi.

Lagi-lagi, pada isu korupsi pun warga seolah tidak dilibatkan. Paslon 02 fokus pada peningkatan penghasilan penyelenggara negara. Sementara paslon 01, dengan segala pengalamannya, justru tidak fokus.

Spesialisasi

Pada isu terorisme, peningkatan anggaran di sektor pendidikan dan kesehatan di tawarkan oleh paslon 02.

Mereka juga menawarkan peningkatan kesejahteraan dengan cara menciptakan lapangan pekerjaan, menciptakan peluang ekonomi, menstabilkan harga pangan dan kebutuhan pokok.

Menurut mereka, terorisme terjadi akibat dari ketidakadilan, rasa putus asa, dan kemiskinan.

Tidak hanya dalam isu terorisme, pendekatan kesejahteraan juga ditawarkan sebagai solusi menyelesaikan persoalan, baik hukum, HAM, juga korupsi.

Pada titik ini, Sandiaga Uno selalu berbicara sesuai dengan kompetensi dan spesialisasinya, seputar ekonomi dan kesejahteraan. Sepertinya publik ditawari satu solusi untuk menjawab semua persoalan di negeri ini.

Sementara itu, pelaku teror, menurut Ma'ruf, tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi. Pemahaman terhadap agama yang salah menjadi salah satu faktor penyebab lainnya. Tntuk itu, dibutuhkan pendekatan keagamaan di mana meluruskan pemahaman yang keliru.

Kedua paslon menawarkan pendekatan pencegahan. Ma'ruf menyebut strategi pencegahan dengan melibatkan organisasi masyarakat, serta organisasi keagamaan. Adapun Sandiaga ingin membuat negara kuat dengan cara memperkuat angkatan bersenjata.

Sepanjang debat, cukup terlihat pasangan nomor urut 01 seolah-olah memakan umpan yang selama kampanye ditebar oleh nomor urut 02 sehingga terkesan defensif.

Hal ini cukup berhasil membuat Jokowi-Ma'ruf kurang mampu mengelaborasi keunggulan berupa pengalaman kerja-kerja selama 4 tahun terakhir. Akibatnya, argumentasi yang disampaikan miskin data dan fakta.

Publik juga melihat bagaimana penantang petahana mencoba membangun citra sebagai pasangan yang tenang dan tidak reaktif.

Meski demikian, citra yang sempat dibangunnya selama debat berpotensi hancur ketika Prabowo reaktif terhadap pertanyaan Jokowi seputar komitmen partinya pada isu pemberantasan korupsi.

Secara keseluruhan, debat capres-cawapres belum mampu membayar ekspektasi publik akan suguhan pemaparan yang bernas dan visioner berkaitan dengan isu hukum, HAM, antikorupsi, dan terorisme.

Sebaliknya, debat justru terkesan sebagai ajang curhat. Kedua paslon mungkin lupa bahwa penonton debat bukan hanya kelompoknya, tetapi juga ada generasi milenial, pemilih galau yang ingin diyakinkan kenapa harus memilih dia.

Hal itu berakibat kedua paslon lupa menggunakan ajang debat sebagai momentum untuk menarik simpati publik. Salah satu contohnya, mereka melewatkan sesi memberi apresiasi kepada lawan debat.

Padahal, Indonesia dewasa ini membutuhkan suri tauladan serta komitmen dari para pemimpin untuk tetap menghargai serta menghormati perbedaan, untuk mencegah potensi terjadinya perpecahan.

Alih-alih menjadi referensi bagi swing voters, pemilih pemula untuk menentukan pilihannya pada tanggal 17 April nanti, debat perdana capres-cawapres justru berpotensi semakin meyakinkan mereka untuk tidak memilih atau golput.

Pada akhirnya, meminjam istilah Dahlan Iskan, ahli debat memang tidak ada yang jadi capres dan capres tidak ada yang ahli debat.

Jadi, apakah debat memang penting?

https://nasional.kompas.com/read/2019/01/19/11164461/debat-capres-cawapres-untuk-siapa

Terkini Lainnya

Kompolnas Duga Ada Pelanggaran Penugasan Brigadir RAT untuk Kawal Pengusaha

Kompolnas Duga Ada Pelanggaran Penugasan Brigadir RAT untuk Kawal Pengusaha

Nasional
Surya Paloh Pamer Nasdem Bisa Dukung Anies, tapi Tetap Berada di Pemerintahan Jokowi

Surya Paloh Pamer Nasdem Bisa Dukung Anies, tapi Tetap Berada di Pemerintahan Jokowi

Nasional
Sempat Ditunda, Sidang Praperadilan Pimpinan Ponpes Al Zaytun Panji Gumilang Digelar Lagi Hari Ini

Sempat Ditunda, Sidang Praperadilan Pimpinan Ponpes Al Zaytun Panji Gumilang Digelar Lagi Hari Ini

Nasional
Hardiknas 2024, Puan Maharani Soroti Ketimpangan Pendidikan hingga Kesejahteraan Guru

Hardiknas 2024, Puan Maharani Soroti Ketimpangan Pendidikan hingga Kesejahteraan Guru

Nasional
Rakornis, Puspom dan Propam Duduk Bersama Cegah Konflik TNI-Polri Terulang

Rakornis, Puspom dan Propam Duduk Bersama Cegah Konflik TNI-Polri Terulang

Nasional
Hardiknas 2024, Pertamina Goes To Campus 2024 Hadir di 15 Kampus Terkemuka

Hardiknas 2024, Pertamina Goes To Campus 2024 Hadir di 15 Kampus Terkemuka

Nasional
Atasan Tak Tahu Brigadir RAT Kawal Pengusaha di Jakarta, Kompolnas: Pimpinannya Harus Diperiksa

Atasan Tak Tahu Brigadir RAT Kawal Pengusaha di Jakarta, Kompolnas: Pimpinannya Harus Diperiksa

Nasional
Harap PTUN Kabulkan Gugatan, PDI-P: MPR Bisa Tidak Lantik Prabowo-Gibran

Harap PTUN Kabulkan Gugatan, PDI-P: MPR Bisa Tidak Lantik Prabowo-Gibran

Nasional
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron Absen Sidang Etik Perdana

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron Absen Sidang Etik Perdana

Nasional
Terbukti Selingkuh, Hakim Pengadilan Agama di Asahan Diberhentikan

Terbukti Selingkuh, Hakim Pengadilan Agama di Asahan Diberhentikan

Nasional
Dukung Program Prabowo-Gibran, Partai Buruh Minta Perppu Cipta Kerja Diterbitkan

Dukung Program Prabowo-Gibran, Partai Buruh Minta Perppu Cipta Kerja Diterbitkan

Nasional
Sidang Gugatan PDI-P Kontra KPU di PTUN Digelar Tertutup

Sidang Gugatan PDI-P Kontra KPU di PTUN Digelar Tertutup

Nasional
Hakim MK Berang KPU Tak Hadiri Sidang Sengketa Pileg, Tuding Tak Pernah Serius sejak Pilpres

Hakim MK Berang KPU Tak Hadiri Sidang Sengketa Pileg, Tuding Tak Pernah Serius sejak Pilpres

Nasional
PTUN Gelar Sidang Perdana PDI-P Kontra KPU Hari Ini

PTUN Gelar Sidang Perdana PDI-P Kontra KPU Hari Ini

Nasional
Profil Andi Gani, Tokoh Buruh yang Dekat dengan Jokowi Kini Jadi Staf Khusus Kapolri

Profil Andi Gani, Tokoh Buruh yang Dekat dengan Jokowi Kini Jadi Staf Khusus Kapolri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke