Data itu didapat dari hasil survei Indikator yang dirilis di Kantor Indikator Politik Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/1/2019).
Ia mengatakan, bagi kedua kubu yang telah memiliki pendukung fanatik, debat memang kurang terasa manfaatnya. Sebab, para pendukung fanatik cenderung tak akan mengganti pilihannya meskipun telah menyaksikan debat.
Namun, hal itu berbeda bagi swing voters yang masih belum yakin dengan pilihannya dan akan menjadikan penampilan kedua pasangan calon dalam debat sebagai pertimbangan untuk memilih.
"Terutama bagi orang-orang yang pemilih baru, pemilih milenial, pemilih yang ragu-ragu. Tapi bagi pemilih yang sudah loyal itu debat sebenarnya debat enggak punya arti apa-apa. Hanya sebagai tontonan saja. Penambahan informasi lah ya," ujar Arya saat ditemu di Kantor CSIS, Tanah Abang, Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Ia mengatakan masing-masing kubu bisa mendongkrak elektabilitas asalkan tidak menyampaikan jawaban yang normatif di saat debat.
Sebab, Arya mengatakan, pemilih tentu ingin mengetahui sejauh mana penguasaan kedua pasangan calon terhadap permasalahan publik.
"Saya percaya bahwa kalau kandidat mampu tampil dengan performa yang baik begitu ya. Gesture, body language, komunikasinya, dan yang kedua soal materinya. Substansinya, gagasannya, programnya," ujar Arya.
"Kalau kandidat bisa unggul di dua itu saya percaya debat akan mampu mempengaruhi orang," lanjut dia.
Diberitakan sebelumnya debat Pilpres terdiri dari lima rangkaian. Debat pertama yang bertemakan pemberantasan korupsi dan terorisme serta penegakan hukum dan HAM akan berlangsung di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019) mendatang.
https://nasional.kompas.com/read/2019/01/15/18350441/ada-25-persen-swing-voters-yang-bisa-direbut-suaranya-lewat-debat-pilpres