Sebab, isu tersebut dianggap efektif guna meraih suara masyarakat melalui media sosial.
"Dugaan saya karena efektif, mudah viral, dan mendapatkan suara. Politik identitas adalah yang paling mudah dan akan terus dilakukan paslon selama kampanye," kata analisis media sosial Ismail Fahmi saat seminar nasional bertema "Panas di Medsos, Dingin di Kotak Suara" pada Perayaan HUT ke -19 The Habibie Center di Jakarta, Rabu (14/11/2018).
Ismail menambahkan, isu tersebut digunakan ditengarai adanya pemilih yang menyukai identitas personal dari salah satu paslon. Tak pelak, politik identitas disuguhkan di media sosial dengan tujuan menjaga suara dan mendapatkan suara baru.
Pengelompokan suara, lanjut Ismail, paling mudah lewat politik identitas dengan isu agama, ideologi, dan nasionalisme. Jika tidak memiliki identitas, maka paslon akan susah mendapatkan suara.
"Indikatornya apakah gagasan yang dilontarkan di media sosial itu viral atau tidak. Efektivitas itu tercapai ketika menjadi trending," ujarnya.
Ismail menjelaskan, berdasarkan analisis di media sosial, kedua paslon sama-sama menggunakan politik identitas guna mengumpulkan suara.
Capres Joko Widodo (Jokowi) contohnya, memilih Ma'ruf Amin agar masyarakat menilai bahwa dirinya pro dengan agama Islam. Hal itu dilatari dengan adanya isu yang menyatakan Jokowi anti-Islam.
Sementara capres nomor urut 02 Prabowo Subianto, seperti diungkapkan Ismail, tetap menggunakan politik identitas dengan merepresentasikan seorang yang berlatar militer dan ketegasan.
"Kemudian Sandiaga Uno menggunakan idenditas milenial, meskipun beberapa kali dengan identitas sebagai seorang santri," pungkasnya.
https://nasional.kompas.com/read/2018/11/15/06580041/kedua-paslon-dinilai-gunakan-politik-identitas-untuk-raih-suara