Hakim menilai, Abdul Latif terbukti menerima suap.
"Mengenai hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik, majelis hakim sependapat dengan jaksa penuntut umum dan relevan untuk dikabulkan, karena dipandang adil dalam putusan ini," ujar anggota majelis hakim saat membacakan pertimbangan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/9/2018).
Hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik berlaku selama 3 tahun setelah Abdul Latif selesai menjalani pidana pokok.
Hukuman itu sesuai dengan tuntutan jaksa. Jaksa mempertimbangkan bahwa saat melakukan tindak pidana, Abdul Latif masih menjabat sebagai bupati.
Ada pun, kepala daerah merupakan jabatan publik yang dipilih langsung dalam pilkada.
Menurut jaksa, secara tidak langsung warga menaruh harapan Abdul Latif dapat memajukan daerah dan memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme.
Namun, pada kenyataannya, Abdul Latif malah menerima suap dari para kontraktor.
Hukuman ini untuk melindungi masyarakat agar tidak memilh pejabat yang koruptif.
Abdul Latif divonis 6 tahun penjara oleh majelis hakim. Abdul Latif juga diwajibkan membayar denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan.
Abdul Latif terbukti menerima suap Rp 3,6 miliar. Suap tersebut diberikan oleh Direktur PT Menara Agung Pusaka Donny Witono yang merupakan kontraktor di Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
Uang tersebut diberikan karena Abdul Latif telah mengupayakan PT Menara Agung Pusaka memenangkan lelang dan mendapatkan proyek pekerjaan pembangunan ruang perawatan kelas I, II, VIP dan super VIP di RSUD H Damanhuri Barabai tahun anggaran 2017.
Pada Maret-April 2016, Abdul Latif memanggil Fauzan Rifani selaku Ketua Kadin Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Dalam pertemuan itu, Abdul Latif memberikan arahan agar Fauzan meminta fee kepada para kontraktor yang mendapatkan proyek di Pemkab Hulu Sungai Tengah.
Masing-masing yakni fee sebesar 10 persen untuk proyek pekerjaan pembangunan jalan. Kemudian, pekerjaan bangunan sebesar 7,5 persen dan pekerjaan lainnya 5 persen.
Jumah tersebut dihitung dari setiap nilai kontrak yang sudah dipotong pajak.
Dalam kasus ini, awalnya Abdul Latif selaku bupati meminta agar Donny menyediakan fee sebesar 10 persen dari nilai kontrak, apabila ingin perusahaannya dimenangkan.
Namun, Donny meminta agar fee diturunkan menjadi 7,5 persen. Setelah itu, Abdul Latif menyetujuinya.
Setelah terjadi kesepakatan, PT Menara Agung Pusaka dinyatakan sebagai pemenang lelang. Sebagai kelanjutan atas kesepakatan, terdakwa memberikan dua lembar bilyet giro kepada Fauzan Rifani pada April 2017.
Ada pun, pencairan dilakukan dalam dua tahap. Pertama, Rp1,8 miliar setelah pencairan uang muka proyek dan Rp1,8 miliar setelah pekerjaan selesai.
Abdul Latif terbukti melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
https://nasional.kompas.com/read/2018/09/20/16452211/hakim-cabut-hak-bupati-hulu-sungai-tengah-untuk-dipilih-dalam-jabatan-publik