Riban tak ingin jika Palangkaraya jadi ibu kota negara bernasib sama dengan DKI Jakarta yang menghadapi persoalan-persoalan pelik.
"Kami juga ke depan ingin kota ini 100 tahun ke depan tidak seperti Jakarta. Nanti begitu (ibu kota negara) pindah, dipindah lagi," kata Riban dalam seminar nasional bertajuk Optimalisasi Keruangan Palangkaraya, Palangkaraya Kota Harati, Menyambut Wacana Pemindahan Ibu Kota di Hotel Pullman Jakarta, Selasa (18/9/2018).
Saat ini, kata Riban, pemkot Palangkaraya terus berkoordinasi dengan para ahli, seperti di bidang perkotaan dan transportasi agar Palangkaraya bisa mengakomodasi pertumbuhan perkotaan hingga ratusan tahun ke depan.
Ia menilai, Palangkaraya masih memiliki peluang yang luas untuk segera ditata dengan baik.
"Palangkaraya itu masih bisa ditata. Karena kawasannya masih kosong," kata dia.
Persoalannya, kata dia, Palangkaraya memiliki masalah dalam tata ruang. Ia menyatakan, Palangkaraya memiliki tiga wajah, yaitu perkotaan, pedesaan dan perhutanan.
"Sehingga ketika ingin membangun jalan misalnya, kita berbenturan dengan status kawasan," ujar dia.
"Saya sedih ketika ada musim kemarau ada pembakaran lahan dan hutan. Perjuangan listrik masuk juga tidak gampang. Listrik ini jadi persoalan krusial. Kita sering dapat pemadaman karena keterbatasan daya," sambungnya.
Ia berharap perencanaan tata ruang jangka panjang ini mengakomodasi tiga sisi wajah Palangkaraya. Riban juga menyinggung harapan mantan Presiden Soekarno yang menginginkan Palangkaraya sebagai model kota yang terencana serta menjadi representasi Indonesia di mata dunia.
"Nah catatan inilah yang sebenarnya ini yang kami teruskan agar harapan cita-cita beliau jadi kenyataan di masa yang akan datang," kata dia.
Di sisi lain Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Airin Rachmi Diany menegaskan, dibutuhkan niat politik yang kuat dari pusat jika ingin menjadikan Palangkaraya sebagai ibu kota negara.
"Pada intinya yang penting secara bertahap Palangkaraya diharapkan bisa jadi ibu kota negara. Kita pernah bertemu dengan Pak Presiden (Joko Widodo), ada statement beliau bahwa membangun dari luar pulau Jawa itu penting," paparnya.
Dengan demikian, Palangkaraya sebagai ibu kota negara baru diharapkan membawa keadilan dalam pembangunan.
Airin juga mengingatkan, paradigma mengutamakan penataan jauh lebih penting dari sekadar membangun. Menurut dia, menata kota lebih sulit ketimbang membangun.
Pasalnya, dibutuhkan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dalam penataan.
"Publik juga perlu diikutkan dalam proses pembangunan. Kolaborasi yang baik dengan pemangku kepentingan. Tidak mungkin hanya sendiri, tapi harus melibatkan dunia usaha, masyarakat, perguruan tinggi, untuk terlibat bersama," kata dia.
Selain itu, kata Airin, dibutuhkan komitmen bersama dalam melaksanakan perencanaan tata ruang.
Selama ini, ia melihat ada sejumlah pemangku kepentingan yang melanggar tata ruang wilayah. Situasi itu menghambat upaya perwujudan rencana tata ruang yang sudah disusun.
"Jadi perlu komitmen bersama yang harus dijalankan semua. Mumpung Palangkaraya belum sebesar Jakarta dan belum crowded (ramai), rencana tata ruang ini yang harus disiapkan hingga 100 tahun, 200 tahun dan ratusan tahun lainnya," ujar dia.
https://nasional.kompas.com/read/2018/09/18/12131651/palangkaraya-butuh-perencanaan-jangka-panjang-untuk-jadi-ibu-kota-negara