Dari 136 tindakan pelanggaran, sebanyak 96 tindakan lainnya dilakukan oleh aktor non-negara, seperti individu atau kelompok warga. Sementara itu, 40 tindakan lainnya dilakukan oleh penyelenggara negara.
Direktur Setara Institute Halili menjelaskan, perbedaan jumlah tersebut memperlihatkan keprihatinan terkait isu KBB di level masyarakat.
"Saya kira hampir tidak pernah kita mendapati tindakan aktor non-negara sampai dua kali lipat (dari aktor negara). Kalau lebih besar pernah terjadi, tapi sampai dua kali lipat itu hampir tidak pernah," tutur Halili di kantor Setara Institute, Jakarta, Senin (20/8/2018).
"Artinya api pada isu KBB sesungguhnya terletak di warga," imbuh dia.
Halili menjelaskan bahwa penyebabnya adalah provokasi dari elite politik.
Akibatnya, masyarakat terpancing untuk melakukan tindakan yang melanggar kebebasan beragama/berkeyakinan kelompok tertentu.
"Intoleransi itu ada di level warga, jadi lower layer ya, tapi yang menurut saya mengkhawatirkan adalah di level elite politik," jelas Halili.
"Kasus, misalnya, tanda petik ya, Abu Janda versus Amien Rais, ini menstimulasi banyak kasus atau tindakan lanjutan," imbuh dia.
Oleh sebab itu, Setara Institute mendesak pemerintah untuk mengatasi variabel kunci yang mengancam KBB.
Variabel tersebut terdiri dari, rendahnya jaminan politik-yuridis atas hak untuk beragama/berkeyakinan, tidak adil dan tegasnya penegakan hukum, serta kurangnya toleransi dan kesadaran untuk menghormati KBB sebagai sebuah hak asasi.
"(Pemerintah perlu) memastikan bahwa variabel-variabel kunci yang menjadi penyebab terjadinya berbagai pelanggaran KBB itu betul diatasi," tegas Halili.
"Kalau itu dalam bentuk perundang-undangan itu dapat direvisi dan diakui segera, agar api yang ada di dalam warga ini tidak merusak, kemudian membakar rumah Indonesia," lanjut dia.
https://nasional.kompas.com/read/2018/08/20/15211091/provokasi-elite-politik-dinilai-jadi-penyebab-intoleransi-di-level-warga