Ada cerita khusus soal siapa sebetulnya pemilik mikrofon tersebut.
Di hari jadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di Jakarta, 5 Oktober 1966, Soekarno menyampaikan, betapa bernilainya mikrofon saat peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Menurut Soekarno, dengan mikrofon itu, seluruh manusia di muka bumi menjadi tahu bahwa Indonesia sudah merdeka.
“Kita telah memiliki pada tanggal 17 Agustus 1945 itu microphone. Satu-satunya hal boleh dikatakan, materiel yang telah kita miliki, satu microphone, yang dengan microphone ini kita dengungkan ke hadapan seluruh manusia di bumi ini bahwa kita memproklamasikan kemerdekaan kita,” kata Sukarno yang dikutip dari buku 17-8-1945, Fakta, Drama, Misteri karya Hendri F. Isnaini terbitan Change (2015).
Soekarno sempat menyebutkan dari mana mikrofon yang dia gunakan saat membaca teks proklamasi. Menurut Soekarno, mikrofon itu merupakan hasil curian dari stasiun radio milik Jepang.
“Aku berjalan ke pengeras suara kecil hasil curian dari stasiun radio Jepang dan dengan singkat mengucapkan proklamasi itu,” kata Sukarno.
Namun, apa yang dikatakan Soekarno dibantah Sudiro. Nama terakhir adalah tokoh yang ikut andil memperjuangkan kemerdekaan. Dia merupakan mantan sekretaris pribadi Menteri Luar Negeri pertama RI Achmad Soebardjo.
Sudiro yakin betul mikrofon itu bukan hasil curian.
Dalam ceramahnya pada 6 September 1972 di Lembaga Pembinaan Jiwa ‘45 Jakarta, Sudiro menyinggung mikrofon yang dikatakan Soekarno hasil curian.
“Itu tidak betul!” kata Sudiro.
Kata Sudiro, pemilik mikrofon itu adalah warga negara Indonesia bernama Gunawan.
Gunawan merupakan pemilik Radio Satriya, yang bertempat tinggal di Jalan Salemba Tengah 24 Jakarta (sekarang menjadi rumah sakit MH Thamrin Salemba).
Mikrofon itu, kata Sudiro, buatan Gunawan sendiri. Gunawan lah yang merancang corong maupun dudukannya. Begitu pula verstekker atau amplifier (penguat suara).
“Mulai dari corong maupun standarnya (kakinya). Begitu pula verstekker serta band-nya yang dibuat dari zilverpapiar, selubung rokok,” kata Sudiro.
“Semuanya itu adalah hasil kecerdasan otak dan ketrampilan tangan seorang Indonesia yang bernama Gunawan itu,”.
Gunawan pun mengakui bahwa mikrofon yang digunakan saat Proklamasi Kemerdekaan itu buatannya sendiri.
Mikrofon, kata dia, dibuat ala kadarnya. Saat itu kondisi memang serba sulit.
“Magnetnya saya buat dari dua buah dynamo sepeda, sementara band-nya hanya dari grenjeng (kertas perak pembungkus rokok),” kata Gunawan.
Keluarga Gunawan berbisnis menyewakan mikrofon dan amplifier serta perlengkapannya.
Namun saat panita kemerdekaan akan meminjam mikrofon, semua habis disewa.
Dua orang yang diutus untuk mencari mikrofon, yakni Wilopo dan Njonoprawoto mendatangi rumah Gunawan pada 17 Agustus 1945 pukul 07.00 WIB atau tiga jam sebelum Soekarno membaca teks proklamasi.
Wilopo, saat itu, bekerja di Balai Kota Jakarta. Dia adalah pembantu Wakil Wali Kota Jakarta ketika itu, Soewiryo.
Keduanya tidak memberitahu Gunawan untuk keperluan apa mereka meminjam mikrofon.
Wilopo dan Njonoprawoto tidak bisa menyeting mikrofon. Sehingga, Gunawan menyuruh saudaranya, Sunarto untuk membantu.
Saat di mobil, Sunarto baru diberitahu bahwa mikrofon itu akan digunakan Presiden Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.
Sunartolah yang memasang mikfrofon tersebut di Pegangsaan Timur Nomor 56.
“Standar (kaki atau dudukan) didirikannya di ruang muka terbuka, dan versterker diletakkan di dalam kamar muka sebelah kiri dari ruang terbuka itu,” kata Sudiro.
Setelah upacara proklamasi tuntas, mikrofon dikembalikan kepada Gunawan.
Menurut Sudiro, mikrofon tersebut dibawa hijrah Gunawan yang pindah ke Solo di awal 1946. Yang lalu, setelah dari Solo, Gunawan beserta keluarga pindah ke Yogyakarta.
Sejak digunakan Soekarno, Gunawan menyimpan mikfrofon tersebut. Dia tak pernah menggunakannya, apalagi meminjamkannya pada orang lain. Hanya sesekali dia pamerkan pada teman dan sahabat-sahabatnya.
Sudiro mengatakan, pada akhir 1949, keluarga Gunawan kembali ke Jakarta karena dianjurkan Pemerintah.
“Mikrofon beriwayat itu dibawanya, tapi versterker-nya telah rusak, dan ditinggal di Yogyakarta,” kata Sudiro.
Putra dari Gunawan, Gunarso mengungkap mikrofon itu kerap ditawar orang. Tapi, Gunawan enggan menjualnya.
“Ada seorang India dari suku Sikh yang datang malam-malam, menyatakan keinginannya menukar mikrofon itu dengan sebuah rumah di Jalan Imam Bonjol,” kata Gunarso.
Gunawan tetap bergeming, tak mau menjual. Dia selalu ingat bahwa mikrofon tersebut punya nilai sejarah yang tak ternilai.
Lalu, di mana mikrofon itu sekarang?
Menurut Sudiro, pada 1960 Sekjen Kementerian Penerangan Harjoto meminta mikrofon beserta kakinya, tanpa versterker.
Harjoto melalui Darmosugondo akan menyerahkan mikrofon tersebut kepada Soekarno saat merayakan ulang tahunnya di Tokyo, Jepang. Harjoto berharap Soekarno menyimpannya di Monumen Nasional.
Akan tetapi, rencana itu tak terlaksana.
Sehingga keberadaan mikrofon tersebut masih menjadi misteri.
“Sejak saat itu, Harjoto tak tahu lagi, dimana mikrofon itu berada,” kata Sudiro.
Sementara, Gunarso (putra Gunawan) cuman berhasil mengamankan standar (kaki) mikrofon itu.
Gunarso menuturkan, sebelum sang ayah meninggal, beliau menitipkan pesan untuk mencari dimana keberadaan mikrofon tersebut berada.
“Ayah saya (Gunawan) sebelum meninggal (November 1982) berpesan agar kita mencari dimana benda (mikrofon) bersejarah itu berada,” tutur Gunarso.
Gunarso menyatakan, keluarganya tak keberatan, apabila mikrofon tersebut dimuseumkan. "Justru kita bangga."
https://nasional.kompas.com/read/2018/08/18/09430451/riwayat-mikrofon-proklamasi