Nila mengatakan, selanjutnya PB IDI bisa meminta klarifikasi Terawan terkait tudingan iklan serta penjelasan lebih dalam mengenai metode Digital Subtraction Angiography (DSA) atau yang dikenal dengan "cuci otak".
Menurut dia, setiap inovasi dalam bidang kedokteran bisa digunakan untuk mengobati pasien setelah teruji secara klinis.
"Memang inovasi banyak tetapi betul tadi dikatakan harus terbukti kan dalam metodologi penelitian. Apalagi Tentunya hal yang menyangkut kepentingan manusia," kata Nila di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/4/2018).
Namun, ia meminta permasalahan ini diselesaikan secara internal oleh IDI sehingga tak menimbulkan kegaduhan di publik.
Nila mengatakan, Kementerian Kesehatan akan turun tangan memediasi jika permasalahan ini tak bisa diselesaikan di internal IDI.
"Jadi saya kira ini nanti dari IDI tentu di dalamnya ada himpunan keprofesian. Saya kira nanti kita lihat di sini persoalannya itu dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran itu (dari) kode etik kedokteran. Jadi mungkin kita bisa bedakan (dengan metodenya)," papar Nila
"Kami tentu mengharapkan diselesaikan secara internal dulu dan ada solusi yang dapat diambil," lanjut dia.
Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Prijo Sidipratomo mengatakan, pemberhentian sementara dilakukan karena Terawan dianggap melakukan pelanggaran kode etik kedokteran.
Prijo menyebut, ada pasal Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) yang dilanggar.
Dari 21 pasal yang yang tercantum dalam Kodeki, Terawan disebut mengabaikan dua pasal, yakni pasal empat dan enam.
Pada pasal empat tertulis, “Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.”
Terawan tidak menaati itu dan menurut Prijo, Terawan mengiklankan diri. Padahal, ini adalah aktivitas yang bertolak belakang dengan pasal empat dan menciderai sumpah dokter.
https://nasional.kompas.com/read/2018/04/05/14214331/menkes-sebut-inovasi-cuci-otak-dokter-terawan-harus-dibuktikan-secara-klinis