Hal itu lantaran perkara UU MD3 mendapatkan perhatian publik secara luas hingga ada upaya untuk mendesak Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
"Ada indikasi ingin memaksa lembaga presiden untuk menorpedo UU yang sudah yang disetujui oleh pemerintah dan DPR," ujarnya dalam sidang perdana uji materi UU MD3 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (8/3/2018).
Padahal, kata dia, Perppu dikeluarkan bukan untuk menilai suatu UU, tetapi untuk kepentingan yang memaksa ketika urusan pemerintahan dan terjadi kekosongan hukum.
Namun, Irman menilai tidak ada situasi yang genting bagi pemerintah sehingga perlu mengeluarkan perppu untuk membatalkan UU MD3.
Justru, menurut dia, kegentingan itu ada di masyarakat. Oleh karena itu, gugatan masyarakat di MK merupakan upaya yang bisa digunakan untuk membatalkan UU MD3 tersebut.
"Oleh karenanya, kami memohon prioritas perkara ini bisa diputuskan secepatnya," kata Irman.
FKHK menggugat tiga pasal di dalam UU MD3 yang dinilai tidak sesuai dengan konstitusi.
Pasal tersebut yakni Pasal 73 yang mewajibkan polisi membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR tetapi enggan datang.
Lalu, Pasal 122 huruf k, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Ada juga Pasal 245 yang mengatur bahwa pemeriksaan anggota DPR oleh aparat penegak hukum harus dipertimbangkan MKD terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin.
Majelis hakim MK sendiri memberikan waktu 14 hari kepada para pemohon untuk memperbaiki permohonan gugatan yang mendapatkan beberapa catatan dari hakim.
Salah satu catatan tersebut yakni terkiat dengan pencantuman nomor di UU MD3. Seperti diketahui, UU MD3 belum dinomori lantaran Presiden belum menandatangi UU tersebut.
https://nasional.kompas.com/read/2018/03/08/20112151/pakar-hukum-ada-indikasi-presiden-dipaksa-menorpedo-uu-md3