Salin Artikel

Membangun Sistem yang Memudahkan Pemilih

Tentu menarik untuk mengulas isu panas tersebut dari perspektif pemilu. Tetapi saya tidak melakukannya saat ini. Sebab kalau saya ikuti isu tersebut, maka sebagaimana biasa terjadi sebelumnya, isu pemilih yang sudah kita bahas sebelumnya, akan terlewat lagi.

Pemilih adalah warga negara yang mempunyai hak pilih. Mereka sumber kedaulatan, karena itu mereka adalah subjek utama pemilu.

Namun dalam perbincangan pemilu, posisi dan perannya sering diabaikan. Jika pun dibahas, sebatas pada masalah administrasi: bagaimana agar setiap warga negara yang mempunyai hak pilih namanya masuk dalam daftar pemilih.

Dalam pembahasan Undang-Undang Pemilu misalnya, pemilih nyaris tidak pernah ditempatkan sebagai subjek, sehingga pertanyaan seperti ini tidak muncul: sistem pemilu macam apa yang mampu mewujudkan kedaulatan warga negara? Sistem pemilu seperti apa yang membuat pemilih mampu bersikap rasional dalam memberikan suara?

Tentu rasionalitas pemilih punya preferensi politik masing-masing. Kadang preferensi itu diyakini sedemikian rupa sehingga muncul sikap: hidup atau mati ikut Partai A, atau apapun yang terjadi pilih Calon B.

Namun setidaknya, itu menunjukkan pengetahuan atau keyakinan menjadi pertimbangan dalam memberikan suara, bukan karena uang atau bingkisan.

Sudah dibahas sebelumnya, dalam pemilu legislatif, pemilih kita mengalami kesulitan untuk bersikap rasional akibat banyaknya calon yang harus dipilih.

Dengan 12 partai politik peserta pemilu legislatif, untuk memilih 3 lembaga, yakni DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, calonnya sangat banyak: paling sedikit 108 calon untuk daerah pemilihan berkursi 3 (minimal) dan 432 calon untuk daerah pemilihan berkursi 12 (maksimal).

Ini masih ditambah lagi 20 sampai 30 calon anggota DPD. Masalahnya akan bertambah rumit pada Pemilu 2019, karena pemilu presiden diserentakkan dengan pemilu legislatif.

Jika hadirnya begitu banyak calon membuat pemilih bingung dalam memberikan suara, atau menyulitkan pemilih dalam bersikap rasional, maka tindakan yang harus dilakukan adalah mengurangi jumlah calon.

Apakah dengan demikian kita harus beralih dari sistem pemilu proposional (yang menyediakan banyak kursi di setiap daerah pemilihan), ke sistem pemilu mayoritarian (yang menyediakan hanya 1 kursi dalam setiap daerah pemilihan)?

Saya menjawab, tidak. Sebab, sistem mayoritarian yang menerapkan prinsip winner take all, tidak cocok dengan masyarakat plural seperti Indonesia. Dominasi kelompok atau partai tertentu yang dihasilkan pemilu bisa menimbulkan kerawanan politik dan pemerintahan.

Sejarah juga menunjukkan, upaya menerapkan sistem mayoritarian selalu kandas. Pada awal kemerdekaan, Soekarno gagal membentuk partai tunggal (yang sejalan dengan sistem mayoritarian).

Pada awal Orde Baru, Soeharto tidak berhasil memaksakan sistem mayoritarian. Demikian juga pada awal reformasi, usulah Habibie untuk menggunakan sistem mayoritarian ditolak banyak pihak.

Yang harus dilakukan adalah mempertahankan sistem proposional tetapi dengan mengurangi jumlah kursi di setiap daerah pemilihan. Jika sebelumnya setiap daerah pemilihan pemilu legislatif 3-12 kursi, maka harus dikurangi menjadi 3-6 kursi.

Mengapa maksimal 6 kursi di setiap daerah pemilihan? Ini disesuaikan dengan tingkat pluralitas politik masyarakat.

Secara umum di masyarakat masih berlaku 3 “ideologi” yaitu: Islam, nasionalisme, dan kekaryaan (developmentalism). Jika masing-masing “ideologi” punya 2 varian, maka daerah pemilihan berkursi 6 mampu menjaga pluralitas politik itu.

Langkah kedua adalah menata ulang jadwal pemilu. Format pemilu legislatif, pemilu presiden, lalu pilkada, yang selanjutnya akan menjadi pemilu serentak legislatif dan presiden, lalu disusul pilkada serentak, jelas tidak menguntungkan pemilih.

Dalam pemilu serentak legislatif dan pemilu presiden, mereka akan menghadapi banyak calon. Sementara dalam pilkada calonnya memang sedikit, tetapi peta koalisi partai politik pengusung calon berbeda-beda antara pilkada kabupaten/kota dengan pilkada provinsi. Keduanya sama-sama membuat pemilih bingung.

Oleh karena itu, yang harus dilakukan adalah mengubah format pemilu menjadi pemilu nasional dan pemilu lokal. Pemilu nasional diselenggarakan pada tahun pertama dalam siklus lima tahunan, sedangkan pemilu lokal diselenggarakan pada tahun kedua.

Pemilu nasional adalah pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, dan anggota DPD dalam satu hari-H pemilihan, sedangkan pemilu lokal adalah pemilu untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, anggota DPRD Provinsi, bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota dalam satu hari-H pemilihan.

Dengan mengurangi besaran daerah pemilihan menjadi 3-6 kursi untuk pemilu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, serta mengubah format pemilu menjadi pemilu nasional dan pemilu lokal, maka jumlah calon yang dihadapi pemilih berkurang signifikan.

Tentu saja hal ini akan mempermudah pemilih dalam memberikan suara. Jadi, bolehlah kita berharap pemilih akan bersikap rasional dalam memilih calon-calonnya nanti. Mereka akan mampu menjaga kedaulatannya dalam menentukan pemerintahan.

Simak dan nantikan Kolom Pemilu oleh Didik Supriyanto di Kompas.com. 

https://nasional.kompas.com/read/2017/09/27/21415621/membangun-sistem-yang-memudahkan-pemilih

Terkini Lainnya

Ide 'Presidential Club' Prabowo: Disambut Hangat Jokowi dan SBY, Dipertanyakan oleh PDI-P

Ide "Presidential Club" Prabowo: Disambut Hangat Jokowi dan SBY, Dipertanyakan oleh PDI-P

Nasional
Ganjar Pilih Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Hampir Dipastikan Berada di Luar Pemerintahan Prabowo

Ganjar Pilih Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Hampir Dipastikan Berada di Luar Pemerintahan Prabowo

Nasional
Jemaah Haji Kedapatan Pakai Visa Non Haji, Kemenag Sebut 10 Tahun Tak Boleh Masuk Arab Saudi

Jemaah Haji Kedapatan Pakai Visa Non Haji, Kemenag Sebut 10 Tahun Tak Boleh Masuk Arab Saudi

Nasional
BNPB Tambah 2 Helikopter untuk Distribusi Logistik dan Evakuasi Korban Longsor di Sulsel

BNPB Tambah 2 Helikopter untuk Distribusi Logistik dan Evakuasi Korban Longsor di Sulsel

Nasional
Luhut Ingatkan soal Orang 'Toxic', Ketua Prabowo Mania: Bisa Saja yang Baru Masuk dan Merasa Paling Berjasa

Luhut Ingatkan soal Orang "Toxic", Ketua Prabowo Mania: Bisa Saja yang Baru Masuk dan Merasa Paling Berjasa

Nasional
Mahfud Kembali ke Kampus Seusai Pilpres, Ingin Luruskan Praktik Hukum yang Rusak

Mahfud Kembali ke Kampus Seusai Pilpres, Ingin Luruskan Praktik Hukum yang Rusak

Nasional
[POPULER NASIONAL] Eks Anak Buah SYL Beri Uang Tip untuk Paspampres | Ayah Gus Muhdlor Disebut dalam Sidang Korupsi

[POPULER NASIONAL] Eks Anak Buah SYL Beri Uang Tip untuk Paspampres | Ayah Gus Muhdlor Disebut dalam Sidang Korupsi

Nasional
Ganjar: Saya Anggota Partai, Tak Akan Berhenti Berpolitik

Ganjar: Saya Anggota Partai, Tak Akan Berhenti Berpolitik

Nasional
Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Nasional
Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Nasional
Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Nasional
Ganjar Bubarkan TPN

Ganjar Bubarkan TPN

Nasional
BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke