Pendapat ini disampaikan Melkias dalam sidang uji materi yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (22/8/2017).
Melkias merupakan Ahli yang diajukan oleh pemohon uji materi dengan nomor perkara 28/PUU-XV/2017.
Menurut Melkias, pasal makar dalam KUHP termasuk produk hukum positif yang tidak baik.
"Kalau memang ini hukum positif yang tidak baik, mengapa kita tidak keluarkan saja? Karena bertentangan dengan hak asasi manusia," lanjut Melkias.
Ia berpendapat, negara berkewajiban membentuk aturan yang tujuannya melindungi, mengatur, dan membatasi kebebasan manusia di dalamnya agar tidak terjadi benturan kepentingan.
Namun, aturan tersebut tidak boleh melanggar hak asasi manusia.
Jika dikontekskan pada pasal makar yang ada di KUHP, menurut Melkias, maka istilah makar berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Sebab, makna makar dapat dimaknai secara luas. Padahal, istilah makar dalam KUHP diterjemahkan dari istilah aanslagh dalam bahasa Belanda yang artinya penyerangan.
"Pasal makar itu apabila diterapkan maka akan bertentangan dengan HAM yang dilindungi dalam undang-undang Dasar 45 sehingga menguncang sendi-sendi keadilan," kata Melkias.
Sebelumnya, permohonan tersebut diajukan oleh Hans Wilson Wader, Meki Elosak dan Jemu Yermias Kapanai.
Pemohon menggugat Pasal 104, 106, 107, 108, dan 110 KUHP.
Menurut Pemohon, makna makar pada pasal tersebut multitafsir dan mengancam hak konstitusional dirinya sebagai warga negara Indonesia.
Sebab, bisa saja aksi yang unjuk rasa atau demonstrasi yang sedianya bertujuan menyuarakan kritik justru dianggap sebagai tindakan makar.
Seiring dengan perkembangan demokrasi di Indonesia, maka pasal tersebut seharusnya ditiadakan karena berdampak merusak nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
https://nasional.kompas.com/read/2017/08/22/18162771/-pasal-makar-merupakan-hukum-positif-yang-tidak-baik-