Salin Artikel

Teroris Pengguna Telegram, Kasus Bom Thamrin hingga Penusukan Polisi di Masjid Falatehan

Salah satunya, digunakan dalam kasus teror di kawasan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Januari 2016 lalu.

"Sampai bom Kampung Melayu, terakhir di Falatehan, ternyata komunikasi yang mereka gunakan semuanya menggunakan Telegram," ujar Tito di Lapangan Monumen Nasional, Jakarta Pusat, Minggu (16/7/2016).

Kasus di Kampung Melayu, polisi menemukan adanya komunikasi langsung pelaku lewat Telegram dengan Bahrun Naim, simpatisan ISIS asal Indonesia yang kini berada di Suriah.

(Baca: Mengapa Aplikasi Telegram Disukai Teroris?)

Selain itu, dalam kasus penusukan polisi di Falatehan, pelaku bernama Mulyadi diketahui bergabung dengan grup radikal di Telegram. Dari aplikasi itulah ia terpapar paham radikal dan mulai merencanakan penyerangan ke polisi.

Contoh lainnya yakni pengibar bendera ISIS di Polsek Kebayoran Lama. Pelaku berinisial GOH diketahui mendapat pemahaman radikal melalui internet sejak 2015. Salah satunya dari grup media sosial dan aplikasi Telegram yang diberi nama, Manjanik, Ghuroba, UKK, dan Khilafah Islamiyah.

Tito mengakui bahwa aplikasi tersebut menjadi favorit kelompok teroris karena melindungi privasi penggunanya.

"Selama ini fitur telegram banyak keunggulan. Di antaranya mampu memuat sampai 10.000 member dan dienkripsi. Artinya sulit dideteksi," kata Tito.

(Baca: Netizen Gaungkan Petisi Tolak Pemblokiran Telegram)

Polri, kata Tito, telah membahas hal tersebut dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Ia menganggap, pemblokiran Telegram merupakan salah satu solusi untuk memangkas saluran komunikasi kelompok teroris di Indonesia.

"Nanti kita lihat apakah jaringan teror gunakan saluran komunikasi lain. Kita juga ingin liat dampaknya," kata Tito.

Tak hanya di Indonesia, Telegram juga kerap digunakan teroris di luar negeri. Dinas Keamanan Federal Rusia (FSB) menyebut ll orang-orang yang berada di belakang aksi pengeboman di stasiun metro Saint Petersburg, Rusia, menggunakan aplikasi itu untuk berkomunikasi.

FSB menyebut, kelompok teroris itu menggunakan aplikasi tersebut saat tahap persiapan serangan teroris.

(Baca: Ini Alasan Pemerintah Blokir Telegram)

Kementerian Komunikasi dan Informatika memerintahkan pemblokiran aplikasi Telegram di Indonesia karena ditemukan banyak kanal yang bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, disturbing images, dan lain-lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Telegram memiliki fitur enkripsi end-to-end yang mencegah pesan dicegat dan dibaca, kecuali oleh pengirim dan penerima. Channels di Telegram bersifat terbuka untuk publik dan bebas diikuti oleh pengguna lain (follower).

Karena itu pula, channels sering digunakan oleh teroris sebagai sarana untuk menyebar propaganda, dengan cara broadcast konten. Ada juga groups, private message, dan secret chat.

Pesan Secret Chat hanya bisa diakses melalui dua perangkat, yakni perangkat pengirim yang menginisiasi percakapan dan perangkat penerima. Isi percakapan bisa dihapus kapan pun, atau diatur agar terhapus secara otomatis.

Pavel Durov, pendiri sekaligus CEO layanan pesan Instan Telegram, menyadari bahwa ada aktivitas grup teroris negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Telegram. Namun, ia bersikeras menjunjung tinggi faktor keamanan privasi yang memang sudah lekat dan menjadi ciri khas Telegram semenjak dirilis empat tahun lalu.

https://nasional.kompas.com/read/2017/07/16/09033181/teroris-pengguna-telegram-kasus-bom-thamrin-hingga-penusukan-polisi-di

Terkini Lainnya

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke