Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soeharto dan Berita Korupsi

Kompas.com - 14/03/2017, 15:03 WIB

Siang, Kamis, 11 April 1996, di bawah pohon trembesi di halaman Istana Merdeka, Menteri Sekretaris Negara Moerdiono membantah tuduhan dari luar negeri bahwa Indonesia adalah negara terkorup ketiga di antara 12 negara di Asia.

Menurut lembaga penelitian yang berbasis di Hongkong, Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC), tahun 1996, Indonesia adalah negara terkorup di Asia setelah China dan Vietnam. Hasil penelitian tentang korupsi ini menjadi pemberitaan surat kabar di sejumlah negara, termasuk di Indonesia.

Moerdiono mengatakan, bangsa Indonesia harus hati-hati dan waspada atas tuduhan yang buruk tersebut.

Menurut Moerdiono, mana mungkin Indonesia jadi negara sangat korup, sementara pembangunan ekonomi, sosial, dan pendidikan maju pesat. Ia tidak menyangkal di Indonesia ada korupsi, tetapi tentu tidak separah yang dituduhkan PERC.

Moerdiono berulang-ulang menyatakan perlunya waspada terhadap embusan angin tuduhan tersebut. Tuduhan semacam itu, katanya, bisa membuat bangsa ini tidak punya harga diri dan tidak berdaya.

Menurut Moerdiono, Pemerintah Indonesia giat memberantas korupsi. Buktinya, di Indonesia ada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan pengawasan terhadap tindak korupsi dipimpin sendiri oleh wakil presiden.

Ketika itu, Moerdiono juga mengatakan pernah mendengar lontaran dari anggota Komisi II DPR bahwa korupsi di Indonesia saat itu 30 persen dari APBN. "Betapa besarnya itu. Tidak masuk akal," ujarnya.

Kemudian terjadilah perdebatan antara wartawan dan Moerdiono. Mengapa berita soal korupsi ini membuat Moerdiono marah dan mengapa berita surat kabar tentang hal itu perlu diwaspadai? Bukankah berita semacam itu bisa menjadi bahan koreksi diri dan bukan menurunkan rasa percaya dan harga diri bangsa?

"Memang bisa jadi bahan koreksi. Namun, berita semacam itu juga punya sayap lain dan bisa dipakai pihak tertentu dalam percaturan politik," kata Moerdiono dengan suara bergetar.

Kemudian, Moerdiono mengingatkan para wartawan pandangan Presiden (waktu itu) Soeharto tentang berita-berita korupsi yang sering diembuskan koran saat itu.

Menurut Soeharto, seperti dikutip Moerdiono, tidak ada satu bangsa atau pemerintah yang membenarkan korupsi. Kata Soeharto yang dikutip Moerdiono, di dunia ini, dalam pengertian yang sebenarnya, tidak ada yang membenarkan korupsi.

"Korupsi sebagai isu politik memang paling ampuh dan mudah diterima rakyat. Selama ada pertentangan politik menuju perebutan kekuasaan, isu korupsi selalu akan muncul di permukaan. Kita harus waspada menghadapinya, tanpa mengurangi usaha untuk mencegah dan memberantas korupsi itu sendiri," demikian kata Soeharto pada 1989 yang dilontarkan kembali Moerdiono pada 1996, dua tahun sebelum 1998.

Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden di tengah arus deras berita KKN alias korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selamat membaca sejarah. Historia magistra vitae, artinya sejarah adalah guru kehidupan. (J Osdar)
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Maret 2017, di halaman 2 dengan judul "Soeharto dan Berita Korupsi".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Nasional
Dilema Prabowo Membawa Orang 'Toxic'

Dilema Prabowo Membawa Orang "Toxic"

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Nasional
Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Nasional
Menakar Siapa Orang 'Toxic' yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Menakar Siapa Orang "Toxic" yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Nasional
Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Nasional
Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang 'Toxic' ke Dalam Pemerintahan

Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang "Toxic" ke Dalam Pemerintahan

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Nasional
Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Nasional
Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Nasional
Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com