Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meredam Konflik Pasca Pilkada

Kompas.com - 07/03/2017, 23:25 WIB

oleh: Agus Muhammad

Hiruk pikuk pilkada putaran pertama yang lalu, DKI betul-betul mengkhawatirkan. Persaingan yang begitu panas tidak hanya di tingkat elite. Di tingkat akar rumput pun terjadi radikalisasi pendukung yang satu sama lain saling menafikan. Tatanan sosial tidak hanya retak, masyarakat pun terbelah.

Ini terutama karena sentimen agama menjadi bagian dari persaingan politik. Akibatnya, logika agama lebih dominan daripada logika politik. Begitu seseorang teridentifikasi memiliki pilihan politik yang berbeda, dia akan dianggap berbeda tidak hanya secara politis, tetapi juga secara teologis meski berada dalam satu agama. Inilah yang membuat masyarakat terbelah.

Situasi ini tentu berbahaya karena keterbelahan tersebut biasanya diikuti oleh stereotip yang makin mempertegas segregasi sosial. Stereotip ini terasa sangat menyesakkan di media sosial. Di dunia nyata pun stereotip ini bertebaran di mana-mana, mulai dari warung kopi hingga ruang-ruang seminar; mulai dari tukang ojek sampai profesor.

Stigma ganda

Ketika hubungan-hubungan sosial didasarkan pada stereotip, persentuhan yang terjadi di antara mereka akan mudah melahirkan ketegangan yang—jika tidak dihadapi secara dewasa—dapatberujung pada konflik terbuka. Pemerintah Indonesia sejak awal kemerdekaan memang sangat sensitif terhadap konflik bernuansa agama. Ketakutan pemerintah terhadap konflik yang berbau agama didasarkan pada realitas ketegangan yang selalu muncul sejak Sidang Konstituante.

Ketakutan inilah yang membuat rezim Orde Baru ekstra hati-hati terhadap potensi konflik berbau agama. Pemerintah pada waktu itu sadar betul betapa sensitifnya masalah yang menyangkut perbedaan keyakinan ini di tingkat publik. Itulah sebabnya potensi dan sumber-sumber konflik dijaga sedemikian rupa melalui apa yang dikenal dengan konsep SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).

Masyarakat tidak boleh membicarakan secara terbuka mengenai asumsi-asumsi etnik ataupun stereotip-stereotip mengenai kelompok lain. Semuanya ditutup dan diselubungi dengan konsep SARA sehingga masyarakat hidup dalam ketidaktahuan satu sama lain.

Melalui segregasi sosial yang diterapkan secara rapi sehingga tampak alamiah, umat yang berbeda agama dipisahkan satu sama lain sehingga komunitas yang berbeda agama tidak saling bersentuhan dan, dengan demikian, ketegangan serta konflik bisa dihindari.

Sampai tingkat tertentu, pemerintah waktu itu berhasil menciptakan ”kerukunan antarumat beragama”. Mereka hidup berdampingan secara damai, tetapi tidak mengerti satu sama lain. Ini tentu kerukunan semu. Mereka rukun bukan karena saling mengerti dan saling memahami, melainkan karena dipaksa untuk hidup rukun. Ketegangan dan konflik antaragama tidak terjadi bukan karena mereka telah hidup dalam saling pengertian, melainkan karena ditekan sedemikian rupa oleh penguasa agar potensi konflik tidak muncul ke permukaan.

Akibatnya, cara pandang masyarakat dipenuhi oleh stigma ganda. Setiap kelompok agama terstigma oleh kelompok agama lain. Latar belakang etnis membuat seseorang yang beragama tertentu mendapat stigma ganda: stigma agama sekaligus stigma etnis. Agama A berkarakter X; etnis B berkarakter Y. Begitu seterusnya. Padahal, stigma lebih sering mencerminkan prasangka ketimbang realitas yang sebenarnya.

Stigma ganda inilah yang melahirkan kecurigaan, kebencian, dan rasa permusuhan. Jika stigma ganda ini terbawa dalam arus persaingan politik—entah sengaja atau tidak—maka kita bisa menduga apa yang akan terjadi. Hanya butuh pemicu kecil untuk menyulut emosi publik.

Regulasi

Emosi publik yang penuh stigma terhadap kelompok yang berbeda pilihan politik tentu harus diantisipasi sebelum berubah menjadi konflik terbuka. Berbagai elemen bangsa harus duduk bersama untuk memastikan bahwa kemungkinan buruk ini tidak terjadi, setidaknya ditekan sekecil mungkin.

Untuk jangka pendek, tiga pihak perlu melakukan berbagai inisiasi, sinergi, dan kerja sama sebagai langkah antisipatif: pemerintah, partai politik, dan ormas. Tugas pemerintah terutama adalah memanfaatkan instrumen pemerintahan hingga tingkat RT/RW untuk membangun sistem deteksi dini yang dapat memantau sekaligus merespons berbagai potensi konflik yang mungkin terjadi di wilayahnya masing-masing.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Nasional
Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Nasional
Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Nasional
Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Nasional
Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Nasional
Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Nasional
Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Gibran Lebih Punya 'Bargaining' Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Gibran Lebih Punya "Bargaining" Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Nasional
'Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran'

"Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com