Berdasarkan verifikasi Kompas.com sejauh ini, informasi ini tidak benar.
JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Pol Rikwanto mengatakan, mayoritas masyarakat sebenarnya sudah memahami bahwa informasi bohong atau hoaks harus dihindari.
Namun, masih banyak masyarakat yang seolah kecanduan hoaks sebagai bahan lelucon di media sosial.
"Penyebaran hoaks memang salah, tapi ada adrenalin karena lucu-lucuannya, rasa ingin tahu, 'biar rasain lu', dan lain-lain. Akhirnya hoaks tersebar tanpa rasa tanggung jawab," ujar Rikwanto dalam diskusi bertajuk "Mengupas Jurnalisme Hoax" di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta, Penyebaran informasi di media sosial nyaris tidak bisa dibendung.
(Baca: Putaran Kedua, Warga DKI Diharapkan Tidak Lagi Termakan Hoaks)
Sebuah informasi bisa tersebar di puluhan ribu akun media sosial dalam hitungan menit. Berdasarkan pengalaman Polri yang kerap menangani kasus hukum terkait hoaks, biasanya informasi sumir muncul saat ada momen.
Misalnya, banyak buzzer yang memanfaatkan momentum pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah.
Banyak berita hoaks yang dijadikan kampanye hitam untuk menyerang calon tertentu.
"Ada teman-teman buzzer yang digaji. Tujuannya terserah user, buat berita apa saja, bikin foto siapa, mau asal ada uang," kata Rikwanto.
Rikwanto mengaku miris saat mengetahui masyarakat lebih menggemari menyerap berita dari media sosial ketimbang koran atau media online arus utama.
Padahal, informasi yang beredar di Facebook ataupun grop Whats App tak seluruhnya merupakan kebenaran.
Tanpa kroscek terlebih dahulu, informasi itu disebarkan ke tempat lain. "Berita yang gamang dan setengah-setengah lebih asyik daripada yang beneran," kata Rikwanto.
(Baca: Gus Mus: Kadang Kita Ikut Menyebarkan "Hoax" Tanpa Sengaja
Sementara itu, Manager Web Antara Foto Anton Santoso sepakat bahwa hoaks digandrungi sebagai bahan bercandaan yang dibagi di media sosial.
Informasi hoaks tersebut tersebar dari komunitas ke komunitas lain, dan hal tersebut berulang terjadi hingga info yang tidak benar itu diyakini sebagai sesuatu yang nyata.
Selain sebagai bahan lelucon, hoax juga dimanfaatkan untuk menipu pihak tertentu demi mendapatkan sesuatu.
"Misalnya kayak mama minta pulsa," kata Anton.
Selain itu, hoax dimanfaatkan juga untuk menghasut. Dampak hoaks dirasakan cukup besar saat dikaitkan dengan politik. Hoaks kerap digunakan untuk membentuk opini publik demi kepentingan politik.
"Di Pilkada banyak missleading sehingga terbentuk opini masyarakat pada satu pasangan calon," kata Anton.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.