JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto dapat kembali menjabat sebagai Ketua DPR.
Ia mengatakan, hukum formil kursi Ketua DPR milik Golkar.
Pimpinan DPR dipilih melalui suara terbanyak oleh anggota-anggota DPR.
Menurut Refly, semestinya ketika ada pergantian salah satu pimpinan DPR, maka harus dilakukan pemilihan ulang oleh anggota DPR.
Akan tetapi, tidak demikian praktik yang terjadi di DPR.
Meski awalnya Ketua dipilih oleh anggota DPR, namun proses pergantian pimpinan DPR menjadi kewenangan parpol dari yang sebelumnya menduduki jabatan tersebut.
Dalam konteks ini, "penguasa" kursi Ketua DPR adalah Partai Golkar.
"Karena itu meskipun PDI-P memiliki suara terbanyak, tapi tidak jadi Ketua DPR, karena dipilih anggota. Nah karena dipilih anggota, maka seharusnya kalau yang bersangkutan berhenti atau mengundurkan diri diadakan pemilihan baru," papar Refly, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (22/11/2016).
"Faktanya, hukum formilnya, tetap mengatakan kursi pimpinan itu milik parpol. Karena milik parpol, jadi tidak halangan kalau Setya Novanto ingin duduk kembali, karena kursi itu milik Golkar, bukan milik Akom atau siapapun. Sehingga, kalau kemudian Golkar menghendaki kursi itu dikembalikan kepada Setnov itu bisa secara formil," tambah dia.
Meski dibenarkan secara hukum formil, jika dipertimbangkan dari aspek kepantasan maka menempatkan kembali Setya sebagai Ketua DPR kurang tepat.
"Dari sisi kepantasan keadilan akan jadi perdebatan, masak sih orang yang sudah mundur kok bisa kembali lagi," kata dia.
Selain itu, akan menimbulkan polemik.
Sebab, putusan MK yang menyatakan bahwa barang bukti yang sah untuk penyelidikan adalah jika perekaman dilakukan oleh penegak hukum itu harusnya dimaknai berlaku pada proses hukum yang berjalan, bukan terkait jabatan seseorang yang terlibat masalah etik ketika menjabat sebagai anggota atau pimpinan DPR.
"Putusan MK itu tidak terkait masalah yang bersangkutan di MKD. Putusan MK itu yg namanya tapping yang dilakukan oleh bukan penegak hukum itu tidak bisa dijadikan alat bukti maksudnya alat bukti di pengadilan, makanya kemudian proses (kasus Setya) di Kejagung kan berhenti," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.