BOGOR, KOMPAS.com - Berbagai rencana kebijakan pengendalian produksi dan konsumsi rokok di Indonesia tak kunjung dapat terlaksana karena adanya kekhawatiran sejumlah pihak akan nasib petani tembakau.
Lantas, apa solusi agar kebijakan pengendalian produksi dan konsumsi rokok bisa terlaksana tanpa mengganggu nasib petani tembakau?
Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany menyatakan, petani tembakau dapat dialihkan ke tanaman lain, terutama tanaman buah-buahan.
"Bisa durian, rambutan, atau salak," kata Hasbullah dalam seminar pengendalian tembakau dengan tema "Membongkar Hambatan Aksesi FCTC dan Mitos Rokok di Indonesia" di Bogor, pada Jumat (30/9/2016) lalu.
Menurut Hasbullah, mengalihkan petani tembakau ke tanaman lain bukan hal yang sulit. Ia menilai hanya dibutuhkan keseriusan dan komitmen pemerintah untuk dapat merealisasikan kebijakan tersebut.
Ia kemudian mencontohkan Pemerintah Thailand yang dinilainya sukses mengembangkan produksi pertanian jenis buah-buahan.
"Kalau kita jalan-jalan ke Thailand, apa pernah kita menemukan durian medan, salak pondoh? Tapi di sini, coba lihat. Kenapa tidak mendorong petani tembakau ke situ," ujar Hasbullah.
"Banyak ruang bisnis yang lebih menguntungkan dan lebih bermartabat. Mengapa tidak kita pindahkan secara bertahap," ujarnya.
Di luar konsep yang diusulkannya, Hasbullah menilai adanya kekhawatiran akan nasib petani tembakau sebenarya hanya isu yang digulirkan para pengusaha rokok dan para pelindungnya untuk mempertahankan kepentingan.
Menurut Hasbullah, dikedepankannya isu nasib petani tembakau oleh para pelindung kepentingan industri rokok sebenarnya tidak sesuai dengan fakta.
Ia menyebut pada faktanya nasib petani tembakau jauh dari kata sejahtera. Ia kemudian menyoroti impor tembakau yang dilakukan perusahaan-perusahaan rokok besar.
Hasbullah menyebut data dari Kementerian Perdagangan mengenai statistik perkebunan di Indonesia memperlihatkan terjadi tren kenaikan impor tembakau setiap tahunnya.
Menurut dia, tembakau kebanyakan diimpor dari China dan sebagian kecil dari Amerika Serikat.
Sampai 2012, kata dia, jumlah tembakau impor bahkan sudah mencapai 72,5 persen dari total penggunaan tembakau untuk industri di Indonesia.
"Jadi kalau DPR mau membuat undang-undang mengenai tembakau untuk melindungi petani tembakau, pertanyaannya, petani yang mana? Kalau memang mau melindungi stop saja impornya," ucap Hasbullah.