JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa kalangan akademisi dan pegiat antikorupsi menilai gagasan Komisi Pemberantasan Korupsi agar koruptor juga dikenai beban membayar biaya sosial merupakan terobosan baru dalam upaya pemberantasan korupsi.
Namun tidak sedikit juga yang meragukan gagasan tersebut mampu menumbuhkan efek jera dan memulihkan kerugian keuangan negara.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan upaya memulihkan keuangan negara tidak dapat dilakukan dengan penerapan penggabungan perkara pidana dan perdata melalui gugatan ganti kerugian sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 98 KUHAP.
(Baca: KPK Diminta Perjelas Indikator Penghitungan Biaya Sosial bagi Koruptor)
Menurutnya pasal tersebut bukan merupakan landasan yang kuat untuk menggugat ganti kerugian secara maksimal.
"Saya melihat mekanisme ganti kerugian penggabungan perkara pidana dan perdata melalui gugatan ganti kerugian dalam pasal itu susah untuk diterapkan," ujar Supriyadi saat dihubungi Kompas.com, Kamis (15/9/2016).
Supriyadi menjelaskan, Pasal 98 KUHAP dibuat dengan tujuan agar korban suatu tindak pidana yang menderita kerugian bisa mendapat ganti rugi di persidangan tanpa harus mengajukan perkara perdata.
Mekanisme penggabungan perkara itu dimaksudkan untuk mempermudah korban menuntut ganti rugi kepada pelaku saat persidangan perkara pidana.
Tetapi dalam praktiknya selama ini, kata Supriyadi, penggabungan perkara ini harus melewati mekanisme mediasi antara pelaku dengan korban.
Artinya antara pelaku dan korban harus ada kata sepakat soal ganti kerugian. Apabila tidak tercapai kata sepakat, pelaku juga bisa menolak untuk membayar ganti rugi dan memilih hukuman kurungan sebagai pidana pengganti (subsider) maksimal empat bulan.
"Jadi akan banyak masalah jika kita masuk ke dalam penggabungan perkara pasal 98 KUHAP. Mekanismenya terbatas, harus ada mediasi, daya eksekusinya terbatas dan tidak ada paksaan untuk membayar," ungkapnya.
Supriyadi juga mengkritik perhitungan biaya sosial korupsi yang terdiri dari biaya eksplisit dan biaya implisit.
Biaya eksplisit adalah biaya yang dikeluarkan negara untuk mencegah dan menangani tindak pidana korupsi.
Biaya itu antara lain meliputi biaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga pemasyarakatan.
Adapun biaya implisit adalah biaya dari dampak yang timbul karena korupsi. Supriyadi berpendapat KPK akan kesulitan untuk menghitung besarnya biaya implisit yang sifatnya abstrak.