BOGOR, KOMPAS.com - Deputi Bidang Penindakan dan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Inspektur Jenderal (Pol) Arief Dharmawan, menilai Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme minim aspek pencegahan.
"UU (Pemberantasan) Terorisme saat ini terlalu menekankan aspek penindakan daripada pencegahan," kata Arief, dalam sebuah diskusi di Rancamaya, Bogor, Senin (1/8/2016).
"Padahal penyebaran paham terorisme itu pesat sekali terutama di penjara-penjara yang menampung para terpidana terorisme," ujarnya.
Dia menyatakan, BNPT telah memberi masukan kepada Tim Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-Undang (RUU) Pemberantasan Terorisme di DPR untuk memperbesar porsi pencegahan.
Jika tidak, ke depannya pemberantasan terorisme akan jalan di tempat.
"UU yang sekarang itu banyak di aspek penangkapan, penindakan, lalu vonis. Kalau hanya begitu ya kami kesulitan membendung derasnya rekrutmen teroris di penjara dan tempat-tempat lainnya," ujar Arief.
Karena itu Arief berharap masukan BNPT kepada tim Pansus RUU Terorisme dijadikan prioritas utama.
Sehingga, BNPT bisa aktif berkoordinasi dengan lembaga negara terkait untuk memberikan penyuluhan dalam rangka pencegahan terorisme lewat deradikalisasi.
"Kami memang tidak bisa melarang orang untuk berpikir radikal. Tetapi setidaknya kami ingin diberi kesempatan untuk mencegahnya karena terorisme itu berangkat dari radikalisme," kata Arief.
RUU Pemberantasan Terorisme saat ini tengah memasuki tahap penyusunan daftar inventaris masalah (DIM) oleh masing-masing fraksi. (Baca: Revisi UU Antiterorisme Masuki Tahap Penyusunan DIM)
Rencananya RUU tersebut akan dibahas kembali pada masa sidang keenam, 16 Agustus mendatang.
(Baca juga: Draf Revisi UU Antiterorisme Dinilai Menambah Kekuasaan Negara secara Berlebihan)