JAKARTA, KOMPAS.com — Kasus penyanderaan terhadap tujuh warga negara Indonesia yang menjadi anak buah kapal tugboat Charles 001 oleh kelompok bersenjata Filipina merupakan kasus ketiga yang terjadi dalam kurun waktu tiga bulan terakhir.
Pemerintah menegaskan akan segera mengambil langkah untuk menyelesaikan persoalan itu.
"Kami enggak mau dijadikan sandera oleh kepentingan-kepentingan, bukan politik ini, tetapi kepentingan seperti ini. Kok kayaknya kami lihat (penyanderaan) jadi tuman (kebiasaan)," kata Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan usai bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, Senin (27/6/2016).
Luhut mengatakan, langkah yang tengah dikaji oleh tim crisis center Kemenko Polhukam telah dilaporkan kepada Wakil Presiden. Kendati demikian, langkah yang telah disiapkan itu belum menjadi langkah final.
(Baca: Latihan Militer dengan Filipina Belum Terwujud, Sudah Ada Lagi WNI yang Disandera)
Sementara itu, saat disinggung tentang sejumlah langkah yang tengah disiapkan itu, Luhut membongkarnya.
"Kami akan buka setelah dua hari ke depan. Kami ingin pasti lebih dulu, sebelum dibuka ke publik," ujar dia.
Sebelumnya, tujuh ABK tug boat Charles 001 disandera kelompok bersenjata Filipina ketika melintas di perairan Sulu, Filipina Selatan, Senin (20/6/2016). Proses penyanderaan itu terjadi dua kali oleh dua kelompok berbeda pada hari yang sama.
(Baca: Ini Alasan Pemerintah Lambat Verifikasi Info 7 WNI yang Disandera)
Tiga orang yang disandera pada peristiwa penculikan pertama ialah Kapten Fery Arifin (nakhoda), Muhammad Mahbrur Dahri (KKM), dan Edy Suryono (Masinis II).
Sementara itu, empat ABK lain yang disandera pada penyanderaan kedua ialah Ismail (Mualim I), Robin Piter (Juru Mudi), Muhammad Nasir (Masinis III), dan Muhammad Sofyan (Oilman).