JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yambise mengkritik kinerja aparat penegak hukum dalam menangani kasus kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak.
Menurut dia, aparat belum bekerja maksimal untuk menyeret para pelaku kejahatan mendapatkan hukuman maksimal.
"Sekadar masukan, mungkin aparat penegak hukum kita belum bekerja secara maksimal. Kepolisian, Kejaksaan sampai pengadilan," ujar Yohana, di Kementerian PPA, Jakarta, Rabu (4/5/2016).
Ada dua hal yang dikritik Yohana.
Pertama, terkait pencarian alat bukti hingga proses penuntutan yang tidak maksimal. Ia mengatakan, hal ini mengakibatkan hakim memvonis seorang pelaku kejahatan seksual dengan hukuman yang sangat rendah.
"Contoh, ada kasus kekerasan seksual yang kami dapat. Namun, keputusan sang hakim hanya satu tahun empat bulan penjara. Sedangkan kalau dilihat UU Perlindungan Anak, hukuman maksimalnya itu 15 tahun penjara dan denda paling tinggi Rp 15 miliar," ujar Yohana.
Kedua, soal ketegasan aparat penegak hukum dalam melaksanakan ketentuan pidana kejahatan seksual.
Ia menilai, polisi lebih tunduk pada hukum adat daripada hukum pidana.
"Saya sudah mengunjungi Polres-Polres dan bertanya bagaimana penanganan (perkara kejahatan seksual). Kebanyakan masih diselesaikan secara adat, denda atau mediasi saja. Ada lagi yang mengatakan, itu urusan keluarga, kenapa harus dibawa ke sini. Ya itulah yang kita hadapi di Indonesia," ujar Yohana.
Oleh karena itu, Yohana mengatakan, kementeriannya mencanangkan program pelatihan bagi aparat penegak hukum dalam menangani perkara-perkara kejahatan seksual.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.