JAKARTA, KOMPAS.com - Kejanggalan kasus kematian terduga teroris Siyono saat menjalani pemeriksaan oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri mendapat perhatian serius dari DPR.
Upaya untuk mengungkap kejanggalan itu bergulir dengan diwacanakannya pembentukan panitia kerja di Komisi III DPR.
Komisi III menggelar rapat dengar pendapat umum dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, PP Muhammadiyah dan Kontras di Kompleks Parlemen, Selasa (12/4/2016) kemarin.
Hadir dalam RDPU tersebut di antaranya Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar, Koordinator Kontras Haris Azhar, dan Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat.
Dalam paparannya, Imdadun menyampaikan sejumlah kejanggalan di balik kematian Siyono. Kejanggalan tersebut mulai dari indikasi untuk menghalangi pihak keluarga melihat kondisi jenazah.
Selain itu, juga ditemukan sejumlah luka pada tubuh jenazah, hingga desakan kepada pihak keluarga untuk menandatangani perjanjian bahwa tidak akan melakukan otopsi, tidak menuntut dan mengikhlaskan kematian Siyono.
Tak hanya itu, kejanggalan lain yang ditemukan yaitu pihak kepolisian secara intensif membujuk pihak keluarga, hingga menyerahkan dua gepok uang kepada istri Siyono, Suratmi dan kakaknya.
Belakangan diketahui jumlah uang yang diberikan sebesar Rp 100 juta. (Baca: Uang yang Diterima Istri Siyono dari Polri sampai Rp 100 Juta)
"Kesimpulan sementara kami, diduga telah terjadi pelanggaran HAM," kata Imdadun.
"Matinya Siyono adalah pengulangan atas kekerasan yang terjadi atas pengusutan tindak pidana terorisme. Dan kematian ini terjadi di luar proses pengadilan," ujarnya.
Sementara itu, Busyro menilai, langkah Densus 88 yang memberikan uang kepada keluarga terduga teroris yang tewas merupakan hal yang tidak wajar.
Muhammadiyah selaku pihak yang mendapat mandat dari pihak keluarga untuk menyimpan uang yang diserahkan Densus sebelumnya, menaruh curiga.
Untuk itu, lanjut Busyro, ketika Komnas HAM meminta bantuan otopsi terhadap jenazah Siyono, Muhammadiyah menyanggupinya.
Tim dokter forensik Muhammadiyah pun diterjunkan untuk melakukan proses otopsi tersebut.
"Apakah lazim, keluarga yang tewas oleh Densus diberi uang seperti itu? Apakah ada aturan standar memberi uang seperti itu?" kata Busyro.
Ia menambahkan, wacana untuk merevisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kini sedang dibahas Komisi III dengan pemerintah, layak dikaji ulang.
Ini terutama, terkait adanya keinginan untuk menambah waktu pemeriksaan terhadap terduga teroris menjadi 30 hari kerja. Saat ini, batas waktu yang diberikan UU hanya 7x24 jam.
"Kasus Siyono ini hikmahnya luar biasa. Tidak sampai satu minggu tewas dengan cara yang tidak wajar," ujarnya.
(Baca: Kata Busyro, Kematian Siyono Bisa Jadi Hikmah Pembahasan Revisi UU Terorisme)