JAKARTA, KOMPAS.com - Pembajakan pesawat DC 9 milik Garuda Indonesia oleh kelompok yang menamakan diri Komando Jihad terjadi pada 28 Maret 1981.
Namun, pesawat yang dikenal dengan sebutan Woyla itu baru berhasil dibebaskan pada 31 Maret 1981, pada hari ini tepat 35 tahun lalu.
Dilansir dari arsip Harian Kompas yang terbit 1 April 1981, operasi pembebasan dilakukan oleh pasukan Grup 1 Para Komando dari Komando Pasukan Sandi Yudha (Koppasandha, sekarang bernama Kopassus), Selasa (31/3/1981) dini hari sekitar pukul 02.30 waktu Bangkok/WIB.
Operasi pembebasan di bawah komando Kepala Pusat Intelijen Strategis yang saat itu dijabat Letjen LB Moerdani. Adapun Letkol Infanteri Sintong Panjaitan menjadi pemimpin operasi di lapangan.
Pesawat Woyla berada di Bandara Don Mueang, Bangkok, sejak dibajak. Setelah mendapat persetujuan Pemerintah Thailand, maka operasi pembebasan pun mulai bergerak.
Sejumlah sumber menyebut bahwa pasukan komando Indonesia belum memiliki pengalaman dalam menangani pembajakan pesawat. Apalagi, pembajakan Woyla merupakan peristiwa terorisme pertama dalam sejarah maskapai penerbangan Indonesia.
Namun, operasi pembebasan yang dirancang sejak 28 Mei 1981 itu berlangsung sukses. Setelah mempelajari bagian pesawat DC 9 dan posisi pembajak, pasukan komando berhasil membebaskan pesawat berisi 48 penumpang dan 5 awak pesawat dalam waktu singkat.
Pasukan komando hanya membutuhkan waktu 3 menit untuk melumpuhkan 5 teroris yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein.
Dengan demikian, drama pembajakan pesawat Woyla sejak 28 Maret 1981 itu pun berakhir. (Baca: 28 Maret 1981, Pesawat Woyla Garuda Indonesia Dibajak)
Harian Kompas mengutip keterangan resmi pemerintah yang menyebut seluruh penumpang selamat dan seluruh teroris tewas dalam serangan itu.
Namun, kemudian diketahui bahwa Imran bin Muhammad Zein ditangkap. Imran kemudian dihukum mati pada 28 Maret 1983.
Keterangan resmi pemerintah juga menyebut pilot dan seorang pasukan komando luka-luka.
Beberapa hari setelah keterangan pemerintah itu diumumkan, pilot Kapten Herman Rante dan anggota Koppasandha bernama Achmad Kirang menjadi korban tewas dalam operasi pembebasan.
Keduanya menderita luka tembak, dan gagal diselamatkan meski sudah dibawa ke rumah sakit.