JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah diminta menghentikan rencana merevisi Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Menurut Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG), Rafendi Djamin, poin-poin dalam revisi tersebut justru bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.
Dikhawatirkan, revisi UU Terorisme malah menyalahi mekanisme peradilan yang adil.
"Bukannya memperkuat mekanisme pengawasan dan prosedur penanganan, pasal-pasal revisi justru semakin membuka peluang bagi kesewenang-wenangan aparat dan penegak hukum, jauh dari prinsip penegakan hukum yang adil, akuntabel dan transparan," ujar Rafendi melalui siaran pers, Rabu (16/3/2016).
HRWG, kata Rafendi, sebenarnya mendukung penuh upaya pemerintah memberantas segala bentuk teror. Namun, upaya tersebut tak lantas mendobrak prinsip penegakan hukum dan HAM.
Salah satu contohnya ialah Siyono, terduga teroris yang meninggal setelah bergulat dengan petugas yang menjaganya.
Saat itu, hanya satu polisi yang mengawalnya sehingga Siyono dapat menyerang di saat lengah. Polri pun telah mengakui adanya kesalahan prosedur.
"Meski ada proses penyelidikan yang dilakukan oleh Polri, namun hal ini tidak cukup menjadi alasan untuk menghilangkan nyawa seseorang," kata Rafendi.
Revisi UU Terorisme, kata Rafendi, semestinya tetap memperhatikan rambu-rambu hak asasi manusia. Ia menyayangkan bahwa krusialnya prosedur tetap dan transparan justru tidak masuk ke poin yang direvisi.
Rafendi mengambil salah satu poin yang hendak dimasukkan dalam revisi, yaitu soal penempatan teroris di suatu tempat dalam kurun waktu tertentu.
"Penempatan terduga teroris di tempat tertentu justru bertentangan dengan semangat penghukuman dan anti-penyiksaan, adanya potensi mengembalikan peranan TNI dalam pemberantasan terorisme," kata Rafendi.
Alih-alih memperkuat mekanisme pengawasan, justru mengarah penegakan hukum yang sewenang-wenang.
Lebih jauh, dalam revisi UU ini, tidak ditegaskan bagaimana potensi munculnya ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu terkait radikalisme.
Menurut dia, revisi UU Terorisme tak nampak mencegah masifnya gerakan radikal itu.
"Dilihat dari perspektif ini, HRWG memandang bahwa Rancangan yang diajukan sendiri belum komprehensif melihat peta permasalahan radikalisme di Indonesia," kata dia.
Oleh karena itu, pemerimtah dan DPR diminta mengevaluasi penanganan terorisme selama ini, mulai dari pencegahan, deradikalisasi hingga penindakan.
Hal itu dilakukan demi menemukan celah pelanggaran HAM dan membuat mekanisme pengawasan yang lebih baik.
Rafendi pun meminta agar pemerintah membuat kebijakan penanganan terorisme yang sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Ini termasuk jaminan hak atas kebebasan bereskpresi, hak berkumpul dan berorganisasi, serta memasukkan prinsip-prinsip anti penyiksaan di dalam draft RUU Terorisme yang tengah dibahas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.