Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketua Komisi I: Pengadilan Rakyat Kasus 1965 Mendekonstruksi TNI

Kompas.com - 13/11/2015, 16:17 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq mengatakan, Indonesia harus mewaspadai agenda di balik penyelenggaraan pengadilan rakyat internasional tentang peristiwa 1965 yang digelar di Den Haag, Belanda.

"Rencana sejumlah aktivis bersama elemen keluarga eks-PKI menggelar pengadilan rakyat atas peristiwa 1965 harus dicermati dan diwaspadai pemerintah dan semua pihak," kata Mahfudz di Jakarta, Jumat (13/11/2015), seperti dikutip Antara.

Mahfudz menilai, agenda itu akan menjadi pintu masuk bagi gugatan hukum internasional terhadap dugaan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. (Baca: Pengadilan Den Haag Bantu Internasionalisasi Kasus 1965)

Kasus-kasus itu, menurut dia, adalah bagian sejarah masa lalu yang semestinya sudah ditutup rapat, jika Indonesia ingin melangkah mantap ke depan.

"Bisa dipastikan agenda ini jadi pintu masuk untuk menciptakan distabilitas politik dan mendekonstruksi institusi TNI," ujarnya.

Politisi PKS itu menilai, semua pihak semestinya punya sikap pandang sama tentang sejarah Indonesia dan juga terhadap reformasi TNI yang sudah berjalan baik. (Baca: Pengadilan Rakyat di Den Haag Diharap Ungkap Kebenaran Kekerasan 1965)

Menurut dia, ketika kekuatan asing sudah mampu mengontrol elemen-elemen masyarakat sipil dan masyarakat politik, serta elemen masyarakat ekonomi makin terkooptasi oleh sistem kapitalis dunia, maka yang tersisa adalah institusi TNI.

"Rencana pengadilan rakyat internasional harus dibaca dalam alur skenario ini," katanya.

Dia mengaku tidak habis pikir terhadap keterlibatan sejumlah pengacara Indonesia yang juga para tokoh masyarakat sipil dalam agenda ini. (Baca: Seorang Korban Kekerasan Seksual 1965 Berikan Kesaksian)

Menurut dia, pemerintahan Joko Widodo pun jangan pernah bermain api dalam isu kasus 1965 karena itu hanya pembuka tutup botol.

Pengadilan rakyat atau International People's Tribunal atas kejahatan kemanusiaan di Indonesia pada 1965 digelar di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015.

Anggota panitia pengadilan rakyat, Reza Muharam, mengatakan, pengadilan itu digelar untuk membuktikan terjadinya "genosida selama periode 1965 hingga 1966" yang selama ini tidak pernah diakui negara.

Menurut dia, persidangan diikuti tujuh hakim dari kalangan akademisi, pegiat hak asasi manusia, dan praktisi hukum, termasuk mantan hakim mahkamah kriminal internasional untuk Yugoslavia. (Baca: Wapres: Tak Perlu Tanggapi Pengadilan Rakyat di Den Haag)

Para hakim itu, menurut dia, akan menguji alat bukti yang memuat keterangan 16 saksi peristiwa 1965, sekaligus data yang disusun sejumlah peneliti Indonesia ataupun mancanegara.

Terdapat sembilan dakwaan yang akan diuji oleh panel hakim dalam sidang tersebut, antara lain pembunuhan massal, penghilangan paksa, penyiksaan, dan kekerasan seksual pascameletusnya peristiwa 30 September 1965. (Baca: Kalla: Pemerintah Tidak Akan Minta Maaf untuk Kasus HAM 1965)

Reza mengatakan, pengadilan itu tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Yang digugat adalah tanggung jawab negara, dan tidak ada gugatan terhadap individu ataupun organisasi tertentu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PKK sampai Karang Taruna Dilibatkan Buat Perangi Judi 'Online'

PKK sampai Karang Taruna Dilibatkan Buat Perangi Judi "Online"

Nasional
4 Bandar Besar Judi 'Online' di Dalam Negeri Sudah Terdeteksi

4 Bandar Besar Judi "Online" di Dalam Negeri Sudah Terdeteksi

Nasional
[POPULER NASIONAL] Pertemuan Presiden PKS dan Ketum Nasdem Sebelum Usung Sohibul | 3 Anak Yusril Jadi Petinggi PBB

[POPULER NASIONAL] Pertemuan Presiden PKS dan Ketum Nasdem Sebelum Usung Sohibul | 3 Anak Yusril Jadi Petinggi PBB

Nasional
Tanggal 29 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Belajar dari Peretasan PDN, Pemerintah Ingin Bangun Transformasi Digital yang Aman dan Kuat

Belajar dari Peretasan PDN, Pemerintah Ingin Bangun Transformasi Digital yang Aman dan Kuat

Nasional
Perubahan Konstruksi Tol MBZ dari Beton ke Baja Disebut Disetujui Menteri PUPR

Perubahan Konstruksi Tol MBZ dari Beton ke Baja Disebut Disetujui Menteri PUPR

Nasional
Ketua RT di Kasus 'Vina Cirebon' Dilaporkan ke Bareskrim Terkait Dugaan Keterangan Palsu

Ketua RT di Kasus "Vina Cirebon" Dilaporkan ke Bareskrim Terkait Dugaan Keterangan Palsu

Nasional
Kongkalikong Pengadaan Truk, Eks Sestama Basarnas Jadi Tersangka

Kongkalikong Pengadaan Truk, Eks Sestama Basarnas Jadi Tersangka

Nasional
PKS Klaim Ridwan Kamil Ajak Berkoalisi di Pilkada Jabar

PKS Klaim Ridwan Kamil Ajak Berkoalisi di Pilkada Jabar

Nasional
Eks Pejabat Basarnas Pakai Uang Korupsi Rp 2,5 M untuk Beli Ikan Hias dan Kebutuhan Pribadi

Eks Pejabat Basarnas Pakai Uang Korupsi Rp 2,5 M untuk Beli Ikan Hias dan Kebutuhan Pribadi

Nasional
Penyerang PDN Minta Tebusan Rp 131 Miliar, Wamenkominfo: Kita Tidak Gampang Ditakut-takuti

Penyerang PDN Minta Tebusan Rp 131 Miliar, Wamenkominfo: Kita Tidak Gampang Ditakut-takuti

Nasional
Sebut Anggaran Pushidrosal Kecil, Luhut: Kalau Gini, Pemetaan Baru Selesai 120 Tahun

Sebut Anggaran Pushidrosal Kecil, Luhut: Kalau Gini, Pemetaan Baru Selesai 120 Tahun

Nasional
Kasus Korupsi Pembelian Truk Basarnas, KPK Sebut Negara Rugi Rp 20,4 Miliar

Kasus Korupsi Pembelian Truk Basarnas, KPK Sebut Negara Rugi Rp 20,4 Miliar

Nasional
PDI-P Sebut Hasto Masih Pimpin Rapat Internal Persiapan Pilkada 2024

PDI-P Sebut Hasto Masih Pimpin Rapat Internal Persiapan Pilkada 2024

Nasional
Bawas MA Bakal Periksa Majelis Hakim Gazalba Saleh jika Ada Indikasi Pelanggaran

Bawas MA Bakal Periksa Majelis Hakim Gazalba Saleh jika Ada Indikasi Pelanggaran

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com