Oleh: Butet Manurung
JAKARTA, KOMPAS - "Kamu perempuan, lahir dan besar di Jakarta, sekolah tinggi, kenapa mau bekerja keluar-masuk hutan hanya untuk orang-orang seperti mereka?"
Begitu pertanyaan yang sering saya dapatkan selama tak kurang dari 15 tahun terakhir ini. Tidak ada jawaban yang memuaskan mereka. Setiap jawaban malah melahirkan pertanyaan baru.
"Memangnya di kota tidak bisa berarti?"
"Di hutan, kan, tidak ada mal, sinyal telepon, teve, internet, bakso?" Atau, "Hobi, ya, hobi, pekerjaan itu pekerjaan, tidak bisa disatukan!"
Lalu, "Tidak takut binatang buas, kena malaria, diperkosa, atau bertemu setan?"
Bekerja di kota, di mana banyak orang berkompetisi memperebutkan sedikit kesempatan, yang tak jarang hanya demi kesenangan dan memuaskan pancaindra semata, sampai-sampai harus sikut kanan-sikut kiri, bagi saya justru lebih menakutkan dibandingkan kemungkinan bertemu binatang buas di hutan.
Tapi, kenyataannya, pekerjaan di kota memang menjadi incaran banyak orang.
Teramat banyak sehingga kantor-kantor itu harus menyeleksi calon karyawannya habis-habisan dengan berbagai persyaratan.
Pada situasi ini tampak sekali kalau kita yang memburu pekerjaan, bukan pekerjaan yang membutuhkan kita.
Masih ingatkah bagaimana rasanya langkah jadi ringan dan senyum terkembang seharian setelah bantuan kecil yang kita lakukan tulus untuk orang lain?
Misalnya, setelah membantu seorang nenek menyeberang di jalanan yang ramai penuh mobil, atau saat membantu anak tetangga yang kesulitan menyelesaikan pekerjaan rumahnya?
Sulit digambarkan perasaan saya ketika mendengar kata pertama yang berhasil dibaca oleh murid saya, lalu di lain waktu melihatnya membantu orangtuanya di pasar menghitung hasil penjualan produk hutannya.
Bantuan kecil kita bisa jadi besar maknanya bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Saya merasa dibutuhkan.
Butuh dan dibutuhkan menghasilkan perasaan yang berbeda. Letaknya jauh di kedalaman hati, membuat kita merasa berharga, menghargai hidup dan akhirnya bersyukur.