"Muaranya nanti tanggal 9 Desember, pas pilkada. Panen raya akan terjadi, kalau tidak bisa dikontrol," ujar Bambang, pada diskusi bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) di Hotel Alila, Jakarta, Rabu (28/10/2015).
Bambang mengungkapkan, potensi korupsi akan semakin rentan terjadi mana kala daerah yang akan menyelenggarakan pilkada serentak itu memiliki penyerapan anggaran yang kecil. Secara logika, Bambang berpendapat, tidak masuk akal bagi pemerintahan daerah untuk bisa menghabiskan anggaran dalam waktu dua bulan secara proporsional dan tepat sasaran.
"How come kita bisa serap anggaran dalam waktu dua bulan?" kata Bambang.
Dia pun khawatir dana desa lebih mudah disalahgunakan karena dari 269 pilkada yang dilakukan, 170 pilkada di antaranya melibatkan calon petahana.
"Di sinilah KPK seharusnya masuk," ujar dia.
Selain itu, menurut dia, dana desa juga rentan disalahgunakan karena jumlahnya yang besar dan sebaran desa yang menerimanya cukup luas. Oleh karena itu, KPK harus memiliki strategi untuk bisa mengawasi pencairan hingga penggunaannya.
Berdasarkan data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, pada APBN 2015 telah dialokasikan Rp 20,66 triliun untuk dana desa. Total desa yang seharusnya menerima dana itu adalah 74.093 desa. Namun, hingga 23 Oktober lalu, baru 58.804 desa yang telah terdata menerima penyaluran bantuan dana desa, atau baru Rp 8.537.270.521.420 (Rp 8,53 triliun) setara dengan 53,05 persen yang telah masuk ke rekening keuangan desa.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencurigai lambatnya pencairan dana ini karena dana desa sengaja didekatkan waktunya dengan proses pilkada serentak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.