JAKARTA, KOMPAS.com — Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa DPR RI bermaksud menghancurkan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan menyusun draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Salah satu poin dalam reivisi itu menyebutkan bahwa KPK hanya bertugas selama 12 tahun setelah draf RUU itu resmi diundangkan.
"Bukan lagi 'amputasi', melainkan ingin menghancurkan KPK. Kalau kita baca draf RUU KPK yang beredar versi DPR beberapa waktu lalu, tampak mereka membatasi usia KPK hanya 12 tahun saja. Di situ tampak ingin membubarkan KPK 12 tahun kemudian kalau RUU ini direalisasikan," kata Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz di Jakarta, Rabu (7/10/2015).
Menurut Donal, draf revisi UU KPK yang disusun DPR tersebut menunjukkan kegusaran anggota Dewan atas keberadaan KPK. Menurut Donal, KPK telah mengusik anggota DPR karena sepak terjang positif lembaga antirasuah tersebut.
"Sulit dibantah, hanya KPK saat ini yang menganggu konsolidasi elite untuk merampok uang negara. KPK menganggu konsolidasi para mafia hukum, ganggu mereka dalam mencuri APBN dan APBD, mengganggu konsolidasi mafia tambang dan lingkungan," kata Donal.
Ia menyebutkan bahwa usulan DPR untuk membatasi usia KPK selama 12 tahun tersebut menunjukkan bahwa DPR berada pada titik nadir dalam pemberantasan korupsi. DPR salah menafsirkan undang-undang yang menyebutkan bahwa KPK merupakan lembaga ad hoc. Menurut dia, lembaga ad hoc bukan berarti bahwa membatasi waktu keberadaan lembaga tersebut. Lembaga ad hoc adalah lembaga yang dibuat dengan tujuan tertentu sehingga bisa berakhir apabila tujuannya telah tercapai.
"Ad hoc dibuat untuk tujuan tertentu, bukan dibuat untuk waktu tertentu. Kalau diambil dari pengertian terminologi ad hoc begitu (tujuan tertentu), jadi enggak ada batasnya," kata dia.
Usulan pembatasan usia KPK selama 12 tahun itu tertuang dalam Pasal 5 RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang dibagikan kepada anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam rapat pleno Baleg, Selasa (6/10/2015) di Jakarta. Dalam draf revisi UU KPK itu juga disebutkan, KPK hanya dapat melakukan penyadapan setelah ada bukti permulaan yang cukup dan dengan izin ketua pengadilan negeri. KPK juga diusulkan hanya dapat mengusut kasus korupsi dengan kerugian negara di atas Rp 50 miliar dan tak boleh melakukan penuntutan.
Revisi UU KPK sebenarnya masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016 dan menjadi inisiatif pemerintah. Namun, enam fraksi di DPR mengusulkan agar masuk menjadi RUU Prolegnas Prioritas 2015 dan menjadi inisiatif DPR.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.