JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali mengatakan bahwa putusan MA mengenai peninjauan kembali perkara penyelewengan dana beasiswa Supersemar dengan tergugat mantan Presiden Soeharto dan ahli warisnya serta Yayasan Beasiswa Supersemar dapat segera dieksekusi.
Menurut Hatta, penyitaan aset Yayasan Supersemar dapat dilakukan oleh Pengadilan Negeri. Hatta menjelaskan, Kejaksaan Agung dapat menelusuri aset Yayasan Supersemar setelah keluarnya putusan PK dari MA. Hasil penelusuran Kejaksaan Agung akan disampaikan kepada Pengadilan Negeri sebagai pihak yang berwenang melakukan eksekusi.
"Kejaksaan kan mewakili pemerintah mencari aset-asetnya. Nanti temuannya disampaikan ke pengadilan untuk dieksekusi," kata Hatta, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/8/2015).
Hatta tidak ingin terpengaruh dengan pernyataan keluarga Presiden Soeharto yang mengatakan Yayasan Supersemar sudah bangkrut. Menurut dia, Kejaksaan Agung dapat tetap melakukan penelusuran sebagai respons atas keluarnya putusan PK dari MA.
"Nanti Pengadilan Negeri nunggu informasi dari kejaksaan, di mana asetnya yang akan dieksekusi, harus aset (Yayasan) Supersemar," ungkapnya.
Pada Jumat (14/8/2015), Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto menyatakan bahwa Yayasan Supersemar tidak pernah menyelewengkan dana beasiswa. Menurut Titiek, yayasan tersebut justru telah berjasa banyak karena berhasil memberikan beasiswa pendidikan kepada 2.007.500 siswa dan mahasiswa.
Sekitar 70 persen penerima beasiswa Supersemar adalah rektor universitas negeri. MA mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan Kejaksaan Agung dalam perkara penyelewengan dana beasiswa Supersemar dengan tergugat mantan Presiden Soeharto dan ahli warisnya serta Yayasan Beasiswa Supersemar.
MA memperbaiki kesalahan ketik yang terdapat dalam salinan putusan kasasi. Seperti dikutip harian Kompas, Selasa (11/8/2015), Soeharto dan ahli warisnya serta Yayasan Supersemar harus membayar 315 juta dollar Amerika Serikat dan Rp 139,2 miliar kepada negara. Apabila 1 dollar AS sama dengan Rp 13.500, uang yang dibayarkan mencapai Rp 4,25 triliun ditambah Rp 139,2 miliar atau semuanya Rp 4,389 triliun.
Situs resmi MA mencantumkan, majelis PK yang terdiri dari Suwardi (ketua majelis), Soltoni Mohdally, dan Mahdi Soroinda mengabulkan PK yang diajukan Negara RI cq Presiden RI melawan mantan Presiden Soeharto dan ahli warisnya. Majelis yang sama menolak PK yang diajukan Yayasan Supersemar. Perkara yang diregistrasi dengan Nomor 140 PK/PDT/2015 tersebut dijatuhkan pada 8 Juli.
Pada 2010, MA memutuskan mantan Presiden Soeharto (tergugat I) dan Yayasan Supersemar (tergugat II) bersalah melakukan perbuatan melawan hukum. Majelis kasasi yang dipimpin Harifin A Tumpa dengan hakim anggota Rehngena Purba dan Dirwoto memutuskan mereka harus membayar kembali kepada negara sebesar 315 juta dollar AS (berasal dari 75 persen dari 420 juta dollar AS) dan Rp 139,2 miliar (berasal dari 75 persen dari Rp 185,918 miliar).
Persoalan muncul ketika terjadi kesalahan dalam pengetikan putusan. MA tidak menuliskan Rp 139,2 miliar, tetapi Rp 139,2 juta alias kurang tiga angka nol. Kasus ini bermula ketika pemerintah menggugat Soeharto dan Yayasan Supersemar atas dugaan penyelewengan dana beasiswa.
Dana yang seharusnya disalurkan kepada siswa dan mahasiswa itu justru diberikan kepada beberapa perusahaan, di antaranya PT Bank Duta 420 juta dollar AS, PT Sempati Air Rp 13,173 miliar, serta PT Kiani Lestari dan Kiani Sakti Rp 150 miliar.
Negara mengajukan ganti rugi materiil 420 juta dollar AS dan Rp 185 miliar serta ganti rugi imateriil Rp 10 triliun. Pada 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus Yayasan Supersemar bersalah menyelewengkan dana. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Jaksa yang belum puas kemudian mengajukan kasasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.