"Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyayangkan sikap pemerintah yang menentang putusan pengadilan. Semangat dari lima ketentuan (pasal penghinaan presiden) tersebut tidak lagi sesuai dengan jiwa dari UUD 1945 dan akan memiliki potensi tinggi untuk mencederai kemerdekaan berpendapat dan berekspresi," kata peneliti senior Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara, yang juga anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, melalui siaran pers, Rabu (5/8/2015).
Menurut Aliansi, pemerintah tidak pernah menarik pasal penghinaan terhadap presiden dan wapres dalam draf revisi KUHP sejak diajukan pada 2006 hingga diajukan kembali kepada DPR pada Juli 2015. Aliansi juga melihat bahwa ancaman hukuman dalam pasal tersebut justru ddiperberat.
Selain itu, Aliansi menilai bahwa ketentuan dalam lima pasal terkait penghinaan Presiden dan Wapres tersebut bagaikan pasal karet yang rentan disalahgunakan. Pasal itu tidak menyebutkan secara tegas dan pasti batasan-batasan perbuatan yang digolongkan sebagai penghinaan.
"Yang akibatnya tidak ada kepastian hukum serta mengakibatkan tindakan sewenang-wenang dari pihak Penguasa dan Aparat Hukum. Perbuatan apa saja yang menyangkut nama Presiden atau Wakil Presiden dan pemerintah dan yang tidak disukai bisa diklasifikasikan sebagai penghinaan yang dianggap melanggar Pasal-pasal Penghinaan tersebut di atas," tutur Anggara.
Ia mengatakan, ada kekhawatiran sudut pandang yang digunakan dalam menafsirkan pasal tersebut nantinya tergantung kepada tafsir dan interpretasi pihak penguasa, aparat, atau jajarannya. Atas dasar itu, Aliansi meminta pemerintah segera menarik lima ketentuan terkait penghinaan Presiden dalam draf KUHP tersebut.
"Sehingga tidak perlu diadakan pembahasan kembali antara pemerintah dan DPR pada saat membahas R KUHP," tambah Anggara.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganggap pasal penghinaan presiden perlu ada dalam KUHP untuk memproteksi masyarakat yang bersikap kritis sehingga tidak terjerat pada pasal-pasal "karet" yang berujung pidana. Oleh karena itu, pemerintah menambahkan kalimat yang dianggap bisa memberikan proteksi itu.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengaku pemerintah tetap mempersilakan masyarakat untuk memberikan kritik dan koreksi serta pengawasan. Namun, sikap kritis itu diharapkan Jokowi tidak sampai berujung pidana.
Pemerintah menambah butir pasal dalam pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP. Di dalam Pasal 263 RUU KUHP ayat 1 yang disiapkan pemerintah, disebutkan bahwa "setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Pada ayat selanjutnya ditambahkan, "tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri". Menurut Jokowi, pasal itu ada untuk melindungi presiden sebagai simbol negara.
"Urusannya presiden sebagai simbol negara bukan pas saya saja kan, nantinya juga jangka panjang," ucap Jokowi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.