Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MK Dianggap Inkonsisten Sikapi Larangan Mantan Narapidana Ikut Pilkada

Kompas.com - 10/07/2015, 09:09 WIB
Dani Prabowo

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
- Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menilai, Mahkamah Konstitusi inkonsisten dalam mengambil keputusan uji materi UU Pilkada terkait larangan mantan narapidana ikut pemilihan kepala daerah.

Di satu sisi, MK mempertimbangkan persoalan hak asasi manusia ketika menganulir larangan mantan narapidana ikut mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Di sisi lain, MK justru tak melihat hal yang sama ketika memutus judicial review atas pernikahan beda agama.

"Saya melihat, MK ini hanya melihat HAM dari kacamata HAM itu sendiri tanpa melihat kebutuhan sosial lain. Seharusnya, MK konsekuen juga dalam kasus pernikahan beda agama," kata Arsul saat dihubungi, Jumat (10/6/2015).

Ketika memutus permohonan terkait pernikahan beda agama, Arsul mengatakan, MK tak melihatnya dalam kacamata HAM. MK justru menjadikan UU Agama sebagai dasar untuk tidak mengabulkan permohonan itu. Padahal, kata dia, ada persoalan HAM juga di dalam permohonan tersebut. (baca: Ini Alasan MK Tolak Permohonan Nikah Beda Agama)

Sementara, ketika menganulir larangan mantan napi ikut pilkada, MK justru hanya melihatnya dalam kacamata HAM. Namun, MK tak melihat sanksi sosial yang seharusnya diterima oleh mantan napi tersebut.

"Bahwa Anda pernah melakukan suatu tindak pidana, tidak hanya Anda menghadapi hukuman pidana, tetapi juga sanksi moral," ujar juru bicara Fraksi PPP itu.

"MK itu harus menegaskan dirinya. Karena MK dikenal menganut mahzab hukum progresif. Dengan demikian, tidak bisa MK hanya melihat satu kotak saja dalam mengambil keputusan," lanjut dia.

MK sebelumnya menyatakan, mantan napi bisa mengikuti pilkada tanpa menunggu lima tahun pascabebas. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi mantan napi itu jika ingin maju sebagai calon kepala daerah, yaitu mengungkapkan status hukumnya sebagai mantan napi. (Baca: MK Anulir Larangan Mantan Narapidana Ikut Pilkada)

"Yang bersangkutan bisa mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati dan wali kota atau mencalonkan diri dalam jabatan publik atau jabatan politik yang pengisiannya melalui pemilihan," kata hakim konstitusi Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangan putusan UU Pilkada, Kamis (9/7/2015).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan 'Presidential Club'

Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan "Presidential Club"

Nasional
Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Nasional
Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya 'Clean and Clear'

Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya "Clean and Clear"

Nasional
Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Nasional
Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada 'Presidential Club'

Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada "Presidential Club"

Nasional
Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com