JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menilai penolakan permohonan grasi bagi terpidana mati tidak dapat diputuskan secara semena-mena oleh Presiden Joko Widodo. Menurut Haris, banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam memutus suatu permohonan grasi.
"Penolakan Grasi tidak bisa sapu bersih. Ada kasus per kasus yang harus diperhatikan," ujar Haris saat ditemui seusai konferensi pers di Kantor Kontras, Jakarta Pusat, Minggu (1/3/2015).
Haris menjelaskan, dua di antara sejumlah terpidana mati yang akan segera dieksekusi, ternyata memiliki alasan-alasan yang dianggap layak menerima permohonan grasi. Keduanya adalah Mary Jane, terpidana asal Filipina, dan Rodrigo Gularte, terpidana mati asal Brazil.
Mary Jane, kata Haris, sebelumnya adalah seorang pekerja rumah tangga di kota Manila. Haris mengatakan, saat ditangkap oleh Kepolisian Indonesia, Mary Jane tidak mengetahui bahwa bungkusan yang dititipkan majikannya untuk dibawa ke Indonesia adalah narkotika. Bahkan, menurut Haris, Mary Jane bukanlah orang yang berpendidikan tinggi. Ia pun tak bisa berbahasa Inggris, yang menjadi salah satu bahasa utama di Filipina.
Meksi demikian, dalam proses hukum di Indonesia, Mary Jane tetap dinyatakan bersalah hingga hakim memutuskan untuk memberikan hukuman mati. Sementara itu, Rodrigo Gularte, yang permohonan grasinya ditolak oleh Presiden, ternyata diketahui mengidap penyakit.
Haris mengatakan, eksekusi mati bagi Rodrigo seharusnya dibatalkan. Pasalnya, ia dilindungi Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa orang yang sakit tidak dapat dieksekusi. Haris kemudian mengaitkan penerapan undang-undang tersebut pada mantan Presiden Soeharto, yang tidak dapat dilakukan proses hukum karena mempertimbangkan alasan kesehatan.
"Rodrigo, dalam medical assesment, sudah dinyatakan menderita gangguan kejiwaan, tetapi tetap tidak dihiraukan. Kalau begitu, siapa yang tidak taat hukum sekarang?" kata Haris.
Sementara itu, sosiolog Robertus Robet, saat ditemui di Kantor Kontras, mengatakan, permohonan grasi memberikan peluang bagi Presiden untuk memutuskan suatu hal yang sangat penting, terkait nyawa seseorang. Selain itu, menurut dia, hal ini juga penting bagi Indonesia, sebagai peluang untuk memperbaiki sistem hukum dan evaluasi proses peradilan di Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.