Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setelah Dua Tahun, Indonesia Keluar dari Daftar Hitam Anti-pendanaan Teroris

Kompas.com - 25/02/2015, 18:39 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia tidak lagi masuk dalam daftar hitam (blacklist) implementasi penanganan anti pendanaan terorisme. Hal ini diputuskan International Cooperation Review Group/Financial Action Task Force (ICRG/FATF) dalam forum yang digelar di Paris, Prancis, 24 Februari 2015.

"Setelah melalui rangkaian evaluasi oleh review group selama 2 tahun ini, akhirnya kemarin 35 negara anggota FATF (Financial Action Task Force) secara bulat mengakui upaya dan komitmen Indonesia dalam mencegah dan memberantas pendanaan terorisme. Sehingga memutuskan Indonesia keluar dari blacklist menjadi greylist," kata Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Agus Santoso melalui pesan singkat, Rabu (25/2/2015).

Agus hadir dalam forum ICRG/FATF sebagai perwakilan dari Indonesia bersama dengan Dirjen Multilateral Kemenlu Hasan Kleib. ICRG/FATF merupakan satuan tugas yang dibentuk negara-negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk memerangi kejahatan pencucian uang pada tingkat internasional. 

Menurut Agus, Indonesia masuk dalam daftar hitam atau public statement FATF sejak 2012. Pada tahun itu Indonesia belum memiliki undang-undang antipendanaan terorisme. Baru pada 2013, kata dia, antipendanaan terorisme diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013.

Meskipun sudah memiliki undang-undang antipendanaan terorisme, Agus mengatakan bahwa implementasi undang-undang tersebut agar sesuai dengan standar FATF tidak lah mudah. Selama dua tahun ini pemerintah bersama Mahkamah Agung berupaya konsisten melaksanakan undang-undang tersebut.

"Lalu kita membangun task force antar instansi terkait dan kemudian akhirnya pada Februari ini kita membuat SKB yang ditandantangani oleh Ketua MA RI, Menlu, Kapolri, Kepala BNPT dan Kepala PPATK sebagai pedoman mekanisme kerja antar instansi taskforce yang berhasil kita implementasikan secara efektif dan diakui oleh FATF," ucap dia.

Dengan status greylist yang baru diperoleh, kata Agus, Indonesia masih harus melalui penilaian berupa on site visit oleh sejumlah negara yang tergabung dalam Regional Review Group on Indonesia. Indonesia juga diuji dengan menjadi host untuk  Regional Review Group dan Sidang FATF pada Juni mendatang di Brisbane. 

Kendati demikian, Agus menekankan bahwa dicabutnya Indonesia dari daftar blacklist kemudian menjadi greylist sudah membawa dampak positif. Persepsi dunia internasional terhadap Indonesia semakin baik sehingga bisa mendorong investasi. Apalagi, tambah dia, Indonesia tengah bersiap menghadapi kesepakatan masyarakat ekonomi AEAN (MEA) yang berlaku akhir tahun ini.  

"RI sudah comply dengan standar internasional sehingga persepsi country risk turun, angka investment grade naik, dan sistem keuangan RI kredibel. Dengan demikian hubungan dagang, perbankan, keuangan akan semakin baik, termasuk tingkat bunga yang dikenakan kepada pengusaha RI tidak bisa dibedakan dengan negara lain. Tentu hasil ini juga sangat baik ketika kita mulai dengan era Masyarakat Ekonomi Asean karena sejak 2012 RI masuk blacklist maka tentu status ini mempengaruhi hubungan agang dan investasi RI," papar Agus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com