Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Ini, Sidang Lanjutan Praperadilan Komjen Budi Gunawan

Kompas.com - 10/02/2015, 08:36 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com  -
Sidang lanjutan gugatan praperadilan yang diajukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan kembali digelar pada hari ini, Selasa (10/2/2015). Budi menggugat KPK atas penetapannya sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi.

Sidang hari ini masih mendengarkan keterangan dan saksi yang dihadirkan pihak Budi. Pada Senin (9/2/2015) kemarin, tim kuasa hukum Budi membacakan hal-hal yang menjadi dasar pihaknya mengajukan gugatan praperadilan.

Dari sekian alasan yang diutarakan, salah satunya karena menganggap KPK telah merampas kewenangan Presiden Joko Widodo. Penetapan tersangka Budi hanya berselang beberapa hari setelah Presiden Jokowi mengajukan namanya sebagai calon tunggal Kapolri. Pihak Budi menganggap bahwa pernyataan KPK saat pengumuman tersangka yang menyebutkan Presiden seharusnya melibatkan KPK dalam melihat rekam jejak calon Kapolri telah melampaui kewenangannya. Dalam ketentuan perundang-undangan tidak ada aturan yang mengharuskan Presiden meminta pertimbangan KPK dalam memilih calon Kapolri.

Kuasa hukum Budi Gunawan juga menganggap KPK melanggar asas praduga tak bersalah karena penetapan status tersangka disiarkan secara langsung di media massa.

"Termohon (KPK) yang membeberkan kepada media massa secara tendensius merupakan tindakan yang melanggar asas praduga tidak bersalah," ujar salah satu kuasa hukum Budi, Maqdir Ismail, di sela sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (9/2/2015).

"Termohon mengungkapkan kepada publik soal status pemohon (Budi Gunawan) sebagai tersangka, yang sama sekali tidak pernah dikonfirmasi. Bahkan, saksi-saksi yang terkait dengan perkara belum ada yang diperiksa termohon," kata Maqdir.

Kuasa hukum Budi menilai langkah KPK tersebut merupakan salah satu bentuk perampasan hak atau harkat dan martabat Budi. Selain itu, nama baik dan kebebasan Budi juga dianggap telah dirampas oleh KPK.

Prematur

Sementara itu, KPK menilai, praperadilan yang diajukan Budi Gunawan bersifat prematur. Salah satu kuasa hukum KPK, Rasamala Aritonang, mengatakan, kewenangan lembaga praperadilan sangat terbatas, yakni mengenai sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan sah tidaknya penyitaan.

"Faktanya, sampai dengan disidangkannya permohonan praperadilan, termohon (KPK) belum melakukan upaya paksa apa pun atas diri pemohon (Budi Gunawan), baik berupa penangkapan, penahanan, dan lain-lain," ujar dia di dalam persidangan, Senin (9/2/2015).

Seharusnya, lanjut Rasamala, praperadilan itu diajukan ke pengadilan, baru dapat diajukan setelah KPK melakukan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan penyitaan yang mengakibatkan kerugian dan membutuhkan rehabilitasi.

Rasamala juga mengkritik dasar hukum pihak Budi mengajukan praperadilan, yakni Pasal 95 ayat (1) dan (2) KUHAP. Intinya, pihak Budi menginterpretasikan kata "tindakan lain" dalam pasal tersebut sebagai dasar hukum mempraperadilankan KPK. Rasamala menilai, interpretasi kuasa hukum Budi salah. Kata "tindakan lain" yang masuk ke dalam obyek praperadilan bersifat terbatas, yakni memasuki rumah, penggeledahan, penyitaan yang tidak sah menurut hukum, termasuk penahanan tanpa alasan.

Rasamala pun menegaskan bahwa KPK belum melakukan "tindakan lain" itu terhadap Budi seusai ditetapkan menjadi tersangka. "Berdasarkan uraian itu, permohonan praperadilan terhadap termohon tidak tepat karena prematur dan oleh karenanya, permohonan itu haruslah ditolak," ujar dia.

Budi menggugat KPK atas penetapan dirinya sebagai tersangka. KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, tidak lama setelah Presiden Joko Widodo menyerahkan nama mantan ajudan presiden pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri itu ke Dewan Perwakilan Rakyat. Meski telah membantah memiliki rekening tidak wajar, Budi dijerat Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi oleh KPK. 

Perwakilan KPK tidak hadir dalam sidang perdana karena kuasa hukum Budi Gunawan menambah materi gugatan menjelang sidang. KPK menyatakan perlu waktu lebih lama untuk mempelajarinya terlebih dahulu. Tim hukum KPK akhirnya hadir dalam sidang praperadilan kedua hari ini.

Budi menggugat KPK atas penetapan dirinya sebagai tersangka. KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, tidak lama setelah Presiden Joko Widodo menyerahkan nama mantan ajudan presiden pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri itu ke Dewan Perwakilan Rakyat. Meski telah membantah memiliki rekening tidak wajar, Budi dijerat Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi oleh KPK.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Nasional
Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya 'Clean and Clear'

Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya "Clean and Clear"

Nasional
Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Nasional
Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada 'Presidential Club'

Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada "Presidential Club"

Nasional
Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Nasional
“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

Nasional
Soal Orang 'Toxic' Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Soal Orang "Toxic" Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Nasional
Cak Imin Harap Pilkada 2024 Objektif, Tak Ada “Abuse of Power”

Cak Imin Harap Pilkada 2024 Objektif, Tak Ada “Abuse of Power”

Nasional
Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Nasional
Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Nasional
Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Nasional
Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Nasional
Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com