Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sikap Mental "Orang Bersih"

Kompas.com - 04/11/2014, 17:09 WIB

Oleh: Saifur Rohman

KOMPAS.com - Para menteri yang diumumkan Presiden pada Minggu (26/10/2014) didahului oleh isu penting tentang hadirnya "orang bersih".

Hal itu merupakan tindak lanjut dari hasil penelusuran institusional yang ditengarai mampu menentukan seseorang sebagai ”bersih” dan ”tidak bersih”. Setelah pengumuman, Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan ada delapan orang dari 34 menteri memiliki label ”kurang bersih” (Senin, 27/10). Institusi tersebut menyatakan nilai moral itu dengan cara memberi identitas merah, kuning, dan hijau. Merah berarti memiliki individu bermasalah, kuning berarti ada potensi memiliki masalah hukum, dan hijau berarti bersih dari masalah. Dengan begitu, menteri haruslah memiliki label ”hijau” dari institusi yang dimaksud.
Moralitas versus hukum

Atas dasar pengertian itu, ”orang bersih” dapat dimengerti sebagai individu yang tidak memiliki kasus-kasus hukum. Lagi pula, cita-cita reformasi sebagaimana dituangkan dalam naskah perundang-undangan adalah hadirnya individu yang bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Apabila ”orang bersih” itu dimaknai orang yang bebas dari kasus hukum, bagaimana kasus lain yang terkait dengan sikap mental mereka? Model sikap seperti apakah ”orang-orang bersih” yang akan membantu Presiden selama lima tahun nanti?

Dalam pengalaman formal di masyarakat, rekam jejak individu ditentukan oleh institusi kepolisian. Polri mengeluarkan surat keterangan sebagai catatan kepolisian. Surat itulah yang kemudian disebut dengan ”perilaku baik”. Kendati demikian, surat keterangan itu bukanlah jaminan terhadap sikap mental yang dimiliki individu. Itulah kenapa dalam pencarian sumber daya manusia di sebuah perusahaan tak hanya dibutuhkan seseorang yang memiliki prestasi bagus, tetapi juga sikap mental yang tepat untuk posisi tertentu. Tak aneh jika korporat-korporat besar melakukan terobosan untuk mengetahui sikap mental calon pegawai melalui penelusuran terhadap media sosial yang dimiliki.

Logika ini berupaya untuk menyatakan bahwa Indonesia sebagai sebuah ”perusahaan besar” dianggap telah memiliki sebuah mekanisme pendidikan untuk menghasilkan warga negara yang ”bersih”. Karena itu, dalam pola pikir pendidikan dikenal empat indikator keberhasilan pendidikan terhadap individu, yakni kemampuan spiritual, sosial, kognitif, dan psikomotorik. Dalam praktiknya sekarang, ukuran-ukuran yang dapat ditembus oleh institusi-institusi formal itu adalah kemampuan kognitif dan psikomotorik seorang pejabat.

Kebijakan-kebijakan sebelumnya dapat dinilai dengan variabel-variabel kinerja, sedangkan karya pejabat dilihat berdasarkan efek terhadap publik. Sementara kemampuan spiritual dan sosial tidak mendapatkan perhatian yang proporsional. Institusi formal tidak mampu menembus tingkat kesalehan seseorang kepada Tuhan dan kesantunan kepada orang lain.

Masalahnya, pencapaian pembelajaran dari individu tidak pernah diukur melalui penelusuran diskursif. Dalam teori-teori wacana ditunjukkan tentang cara menguak maksud-maksud terselubung yang tidak bisa ditembus dengan pemaknaan formal.

Untuk mengetahui keadaan sesungguhnya, Jurgen Habermas, filsuf Jerman, pernah membuktikan teknik pengujian melalui teknik kesungguhan dan kebenaran. Kesungguhan mengacu kesadaran seorang penutur melalui kalimat yang harus diulang dalam wacana dan kebenaran mengacu pada fakta-fakta yang memadai untuk mendukung wacana. Praktik pembelajaran individu yang praktis, empiris, dan pragmatis selama ini menjadi orientasi fundamental untuk menemukan aparat negara.

Sikap mental para menteri

Itulah kenapa kita tidak harus merasa aneh apabila melihat ”orang bersih” ternyata memiliki perilaku tidak santun. Ditemukan bukti, seorang perempuan yang menjadi menteri sedang merokok ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan. Demikian pula tidak aneh apabila beberapa menteri yang baru dilantik ditemukan sedang duduk di emperan gedung Istana Presiden sambil mengisap rokok sehingga ditegur oleh Paspampres.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, kita bisa menganalisis wacana yang muncul setelah pelantikan. Alhasil, sebetulnya kita telah memperoleh gambaran tentang sikap mental para pembantu Presiden itu. Pertama, menteri yang tak sopan. Bukti, merokok dalam komunikasi formal jelas menimbulkan pertanyaan etis ketimbang pertimbangan efisiensi. Dalam pergaulan publik memerlukan sebuah etiket yang dipatuhi pejabat.

Seorang menteri yang tidak memahami etiket komunikasi akan berdampak terhadap perilaku publik. Orang-orang yang diduga memiliki sikap tidak etis memang tidak menjadi bagian dari ranah yuridis, tetapi tetaplah menjadi bagian dari ingatan kolektif yang buruk.

Kedua, menteri pragmatis. Pejabat ini akan mengedepankan tujuan-tujuan jelas yang harus dilalui dengan permainan yang aman. Manusia yang tak bermasalah bukan berarti bersih karena ia bisa jadi sangat mengerti teknik-teknik permainan dalam sistem birokrasi. Bukti, menteri yang berasal dari kalangan pebisnis sangat jelas bertindak pragmatis. Demikian pula munculnya dugaan kasus yang belum tuntas pada seorang menteri jelas ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kemampuan pribadi keluar dari jeratan hukum.

Ketiga, menteri yang politis. Pejabat jenis ini memiliki kepentingan golongan yang tak bisa dinafikan begitu saja. Bukti, lebih dari separuh Kabinet Kerja merupakan orang-orang yang mengabdikan diri dalam organisasi politik. Hal itu akan berimplikasi secara ideologis terhadap setiap kebijakan yang muncul pada masa yang akan datang. Sistem yang bersih tak selalu berkorelasi hadirnya orang bersih. Kasus-kasus yang muncul dari partai selama ini menunjukkan tentang ketidakmampuan sistem membentuk sikap mental individu secara internal. Pandangan psikologi klinis menunjukkan pentingnya mengetahui motif terselubung, kepentingan yang tak terlihat, hingga taktik permainan dalam mekanisme birokrasi.

Jadi, pernyataan tentang ”orang-orang bersih” dari institusi tetaplah tak bisa lepas dari petuah leluhur tentang hukum ”mendulang air tepercik ke muka sendiri”. Mekanisme formal cukuplah menunjukkan catatan hukum yang tak bisa dianggap sebagai bagian catatan moralitas, etiket, bahkan sikap mental menteri lima tahun mendatang.

Saifur Rohman
Pengajar di Program Doktor Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Nasional
Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Nasional
Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Nasional
Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

Nasional
Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Nasional
Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Nasional
Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Nasional
Soal 'Presidential Club', Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Soal "Presidential Club", Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Nasional
Polri Serahkan Kasus TPPU Istri Fredy Pratama ke Kepolisian Thailand

Polri Serahkan Kasus TPPU Istri Fredy Pratama ke Kepolisian Thailand

Nasional
Evaluasi Arus Mudik, Jokowi Setuju Kereta Api Jarak Jauh Ditambah

Evaluasi Arus Mudik, Jokowi Setuju Kereta Api Jarak Jauh Ditambah

Nasional
Prajurit TNI AL Tembak Sipil di Makassar, KSAL: Proses Hukum Berjalan, Tak Ada yang Kebal Hukum

Prajurit TNI AL Tembak Sipil di Makassar, KSAL: Proses Hukum Berjalan, Tak Ada yang Kebal Hukum

Nasional
Demokrat Tak Keberatan PKS Gabung Pemerintahan ke Depan, Serahkan Keputusan ke Prabowo

Demokrat Tak Keberatan PKS Gabung Pemerintahan ke Depan, Serahkan Keputusan ke Prabowo

Nasional
Polri Tangkap 28.861 Tersangka Kasus Narkoba, 5.049 di Antaranya Direhabilitasi

Polri Tangkap 28.861 Tersangka Kasus Narkoba, 5.049 di Antaranya Direhabilitasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com