"Kami pernah mengusulkan untuk tidak menargetkan tatib ini karena isi UU MD3 nya sendiri tersandera dampak pilpres 2014. Isinya juga tidak mendongkrak demokrasi dalam parlemen," ujar salah satu anggota koalisi dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Ronald Rofriandi, Minggu (31/8/2014).
Ronald mengatakan, jika pansus tatib tetap memaksakan mensahkan tatib, dikhawatirkan akan melanggengkan persoalan yang sudah muncul sejak penyusunan UU MD3. Tak hanya itu, sebutnya, mengingat banyaknya pihak yang mengajukan judicial review UU MD 3 ke Mahkamah, tidak menutup kemungkinan UU ini akan kembali direvisi oleh DPR periode 2014-2019.
Oleh karena itu, lanjut dia, koalisi masyarakat sipil menyarankan agar pansus tatib yang telah disahkan 26 Agustus 2014 lalu hanya membuat rancangan tatib yang akan menjadi acuan bagi pengesahannya di periode mendatang.
"Kalau periode sekarang ingin mengantisipasi stagnansi, kewajiban mereka hanya sebatas menyusun. Kalau ngotot ingin mensahkan, bisa terjadi pemberontakan," ujar dia.
Pemberontakan yang dimaksud Ronald mengacu pada pengalaman tahun lalu saat fraksi Partai Gerindra dan Hanura sebagai partai baru yang tidak terlibat dalam penyusunan tatib. Akibatnya ketika kedua fraksi tidak dilibatkan dalam Badan Kehormatan DPR, keduanya juga menolak setiap keputusan BK terkait anggota fraksi mereka.
Ke depan, imbuh dia, hal yang sama bisa terjadi mengingat adanya partai Nasdem sebagai partai baru.