JAKARTA, KOMPAS.com — Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo dinilai tengah membangun citra masing-masing setelah melihat hasil yang diperoleh Partai Hanura dalam Pemilu Legislatif 2014 berdasarkan hitung cepat. Mereka memisahkan diri sebagai pasangan capres dan cawapres Hanura.
"Saya kira itu strategi masing-masing personal membangun branding kepada publik. Dengan iklan yang satu-satu itu, lebih menjual secara personal," ujar pengamat politik Heri Budianto saat dihubungi Kompas.com, Senin (14/4/2014).
Hal itu dikatakan Heri ketika dimintai tanggapan munculnya iklan Wiranto dan Hary Tanoe di televisi, setelah pelaksanaan pemilu legislatif. Jika sebelum pileg mereka tampil berdua, kali ini Wiranto dan Hary Tanoe muncul dalam iklan secara terpisah.
Heri berpendapat, penayangan iklan tersebut tidak akan berpengaruh banyak untuk dapat maju pada pilpres mendatang. Dengan perolehan suara Hanura yang relatif rendah versi hitung cepat berbagai lembaga survei, Partai Hanura sulit mengusung keduanya dalam pilpres.
"Pada akhirnya Hanura akan realistis bahwa untuk mengusung keduanya sulit," ujarnya.
Heri mengatakan, kedua tokoh Partai Hanura itu memiliki kelemahan dan kekurangan. Wiranto memiliki latar belakang kemiliteran dan pengalaman pemerintahan yang mumpuni. Namun, langkahnya selalu gagal setiap kali maju dalam pentas pilpres.
Sementara itu, Hary Tanoe, menurut Heri, merupakan sosok muda yang pemikirannya masih segar. Namun, pengalaman Hary Tanoe (HT) masih lemah dalam hal pemerintahan. "HT saya kira bisa dijual sebagai tokoh muda yang fresh. Para pemilih lintas agama pun mungkin akan pertimbangkan dia," ujar Heri.
Heri menilai, sah-sah saja iklan tersebut ditampilkan untuk membentuk opini publik terhadap tokoh-tokoh tersebut. Namun, untuk nilai jual dalam koalisi, Heri sangsi bahwa langkah tersebut akan berpengaruh. "Untuk mengubah arah koalisi, saya rasa berat. Pertimbangan partai dan publik kan beda," ujarnya.
Menurut hasil hitung cepat, perolehan suara Partai Hanura "hanya" sekitar 5 persen. Untuk dapat mengusung capres-cawapres, parpol mesti memenuhi syarat dalam UU Pilpres, yakni 20 persen perolehan kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional. Jika tidak mencapai, maka parpol harus berkoalisi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.