KOMPAS.com - DESA Jepang, Kecamatan Margomulya, Bojonegoro, Jawa Timur, terletak sekitar 79 kilometer barat daya ibu kota Kabupaten Bojonegoro yang juga disebut Bojonegoro. Selasa siang, 11 Maret 2014 lalu, Bupati Bojonegoro Suyoto atau yang terkenal dengan sapaan Kang Yoto mengadakan perjalanan ke Kecamatan Margomulyo, termasuk ke Desa Jepang.
Di tengah perjalanan, Kang Yoto bercerita tentang cerita rakyat Bojonegoro, Anglingdharma. Nama ini juga dipakai untuk salah satu ruang pertemuan di kantor Kabupaten Bojonegoro. Dalam legenda ini, Anglingdharma adalah seorang raja yang sakti, gagah, dan dicintai rakyatnya. Ia punya wakil (patih) bernama Batik Madrim yang kesaktian dan kegagahannya setara dengan rajanya.
Anglingdharma dan Batik Madrim merupakan pasangan sangat ideal untuk memerintah sebuah negeri di kawasan Bojonegoro ini. Pasangan ini dicintai rakyat mereka. Kedua tokoh tersebut kompak dalam segala hal, kecuali dalam dunia percintaan.
Perempuan yang sama
Anglingdharma dan Batik Madrim sama-sama jatuh cinta kepada seorang perempuan bernama Dewi Setyawati. Terjadilah perang tanding kedua tokoh itu dan dimenangi Anglingdharma. Batik Madrim menerima kekalahannya walaupun hatinya tetap mencintai Setyawati. Batik Madrim menerima kekalahan demi kestabilan pemerintahan negerinya.
Alkisah, suatu hari Setyawati minta sesuatu dari Anglingdharma. Apabila permintaan itu dipenuhi, Anglingdharma akan melanggar sumpahnya sebagai seorang pemimpin negara, pemerintahan, dan bangsa. Karena permintaan ditolak, Setyawati bunuh diri. Setelah mendapat inspirasi dari seekor kambing jantan yang tidak mau bunuh diri untuk mengikuti pasangannya, kambing betina, Anglingdharma memutuskan untuk tidak ikut bunuh diri bersama Setyawati. Demi bangsa dan negaranya, Anglingdharma tak bunuh diri. ”Cerita itu pelik sekali dan tidak mudah untuk diikuti. Legenda ini juga bisa menjadi renungan para pemimpin bangsa ini, termasuk para calon presiden mendatang,” ujar Kang Yoto
Sampai di Kecamatan Margomulyo, Kang Yoto menemui Menteri Koordinator Ekonomi Hatta Rajasa yang baru tiba dari Solo, Jawa Tengah. Hatta Rajasa adalah Ketua Umum Partai Amanat Nasional. Ia didampingi dua tokoh PAN, Tjatur Sapto Edy dan Djoko Susilo. Oleh Kang Yoto, yang juga Ketua DPW PAN Jawa Timur, Hatta, Tjatur, dan Djoko diajak meninjau embung (tempat penampungan air) dan jalan-jalan desa yang dibangun dengan paving.
Setelah melintasi hutan jati, Hatta, Tjatur, dan Djoko diajak Kang Yoto ke Desa Jepang untuk menemui tokoh masyarakat Samin di desa itu yang bernama Hardjo Kardi, yang sosoknya tampak sehat kekar meski berusia lebih dari 60 tahun.
Hardjo Kardi adalah salah satu tokoh masyarakat Samin yang terkenal karena punya cara tersendiri menghadapi penjajahan Belanda. Kelompok Samin yang terbentuk dari salah satu kawasan Kerajaan Majapahit itu melawan penjajah Belanda tanpa kekerasan dan menolak membayar pajak. ”Kejujuran masyarakat ini pantas menjadi cermin bagi kita semua,” kata Hatta setelah bertemu Hardjo Kardi.
Seorang tokoh budaya Bojonegoro menganjurkan seorang wartawan untuk bertanya kepada Hardjo Kardi, apakah Hatta Rajasa cocok jadi presiden atau wakil presiden. ”Mbah Hardjo Kardi itu orang sakti,” ujar budayawan itu.
Jawaban Hardjo Kardi bukan hanya untuk Hatta Rajasa, melainkan untuk semua orang yang ingin jadi presiden atau wakil presiden. ”Yen wani ojo wedi-wedi, yen wedi ojo wani-wani (Kalau berani, jangan takut-takut. Kalau takut, jangan berani-berani),” begitu jawabnya.
Hatta Rajasa diam seribu bahasa atas ucapan itu. Selamat menafsirkan sikap Hatta Rajasa. (J Osdar)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.