"Kalau menggunakan berbagai cara, termasuk cara haram dan ilegal, parpol sudah tersandera dengan kepentingan," ujar Ade, di Jakarta, Minggu (23/2/2014).
Ia mencontohkan, pada pemilu sebelumnya, ditemukan adanya perusahaan fiktif yang memberikan sumbangan pada partai politik. Padahal, sumber dana sebenarnya hanya dari satu perusahaan atau individu. Menurutnya, hal ini juga rentan terjadi pada pemilihan presiden (pilpres).
"Induk perusahaan nyumbang, anak perusahaan nyumbang, individu nyumbang, padahal cuma satu itu yang nyumbang. Cukup banyak di pilpres. Kalau pileg enggak terlalu banyak. Lalu, misal buka perusahaan palsu. Waktu kami cek perusahaannya ternyata enggak ada," kata Ade.
Modus ini, lanjut Ade, dilakukan untuk mencegah terkuaknya dana maksimal yang diberikan perusahaan atau individu. Menurut Ade, sesuai aturan, sumbangan dana ke parpol dibatasi Rp 1 miliar-Rp 5 miliar untuk satu individu maupun perusahaan.
"Harus jelas tanggal diberikannya uang itu. Karena ada batas sumbangan dana, bisa saja mereka melakukan pemberian uang secara bertahap," ujarnya.
Selain itu, lanjut Ade, hubungan antara penyumbang dana parpol dan parpol atau individu harus jelas. Hal ini untuk mencegah maksud tertentu dalam pemberian uang yang bisa berdampak setelah pemilu. Data penyumbang dana seharusnya dirinci dalam laporan dana kampanye parpol.
"Seperti NPWP, pemegang saham mayoritas siapa, itu mesti ada. Ini tergantung bagaimana ketegasan KPU," katanya.
Ia juga menekankan perlunya audit investigatif untuk mendapati dugaan aliran dana tak wajar.
"Kalau auditnya hanya penyajian umum saja, ya enggak ada temuan. Harusnya audit investigatif," ujar Ade.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.