KOMPAS.com
- Makin lihai saja orang menyembunyikan perbuatannya mencuri uang negara. Bahasa pun tak luput dimanfaatkan demi tujuan itu. Simaklah jargon suap yang muncul belakangan ini. Dari kasus Rudi Rubiandini, mantan kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, muncul tunjangan hari raya. Apa urusan kepala SKK Migas memberi tunjangan hari raya kepada anggota Komisi VII DPR?

Sebelumnya marak dua macam apel versi Angelina Sondakh ketika menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat: apel malang ’uang rupiah’ dan apel washington ’uang dollar AS’. Oh, ya, ada satu lagi, pelumas, yang dikira entah apa, ternyata maksudnya ’uang’.

Sandi-sandi kebahasaan itu dengan jelas menyembunyikan suap yang mereka lakukan. Pola komunikasi yang cenderung implisit seperti itu dapat dengan mudah diperalat untuk penyamaran atau penyembunyian korupsi. Seperti kata Bourdieu, bahasa dapat menjadi sarana perwujudan kuasa simbolik.

Mereka yang merasa lebih punya kuasa akan menguasai ruang komunikasi. Mereka dapat memproduksi bahasa sesuai dengan selera dan kepentingan mereka. Mereka bisa memproduksi kekerasan verbal melalui, misalnya, kata-kata yang merendahkan, menghina, mengancam, atau menyudutkan. Melalui bahasa, realitas buruk juga bisa disembunyikan lalu dicitrakan baik. Kepentingan jahat dan niat busuk bisa dibungkus dengan bahasa yang santun dan indah.

Sementara itu, pihak yang merasa lebih lemah harus tanggap terhadap simbol-simbol kebahasaan dan kode-kode komunikasi lain yang dibuat pihak lebih punya kuasa. Mereka harus pintar menafsirkan pesan tersembunyi baik di balik simbol verbal maupun nonverbal. Pada masa Orde Baru para pejabat sering ribut menafsirkan senyuman (Presiden) Soeharto.  

Pemanfaatan bahasa untuk korupsi makin membahayakan ketika memasuki wilayah kebijakan/peraturan. Dasar penyelenggaraan negara adalah kebijakan/peraturan. Sejak Reformasi banyak bahasa kebijakan/peraturan yang berkesan lembut, merakyat, dan bervisi keadilan sosial.

Beragam kebijakan/peraturan diintroduksi dengan kata-kata kunci populis seperti bantuan, penyesuaian, pemberdayaan, rehabilitasi, revitalisasi, percepatan, penguatan, dan penyelamatan. Dengan kata-kata populis itu, rezim pasca-Orde Baru seolah-olah telah bekerja untuk kepentingan rakyat atas nama keadilan sosial.

Namun, kenyataannya, tak sedikit kebijakan/peraturan dengan kata-kata kunci yang populis justru menjadi bancakan para penyelenggara negara. Sudah cukup banyak dari kalangan ini masuk penjara gara-gara korupsi program bantuan sosial. Jangan pula lupa pada kebijakan bantuan superheboh, bantuan likuiditas Bank Indonesia, yang dibajak kalangan elite.
Kebijakan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah juga makan korban. Seorang anggota DPR, Wa Ode Nurhayati, dan seorang pemimpin sebuah ormas, Fahd El Fouz, divonis bersalah oleh pengadilan.

Potensi korupsi melalui siasat bahasa sangatlah besar. Tidak ada kebijakan/peraturan yang berlangsung di luar bahasa. Tentu ini bukan pekerjaan sembarangan yang bisa dilakukan awam. Menyusun bahasa kebijakan/peraturan hanya bisa dilakukan para elite: kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif; kaum cerdik pandai; pemodal; dan golongan lain yang berkepentingan. Mereka bisa bekerja sama untuk satu tujuan, rumusan bahasa kebijakan/peraturan, yang memberi mereka peluang menggarong uang negara sekaligus menyembunyikan kepentingan tersebut. Inilah korupsi yang sangat berbahaya, korupsi yang menyandera negara.

Andang Subaharianto
Pengajar pada Fakultas Sastra Universitas Jember