"Ada masukan, bahwa ada potensi melanggar privasi (jika menampilkan NIK pemilih). Kami memahami itu, dan kami akan segera perbaiki. Yang akan kami infokan hanya: nama, jenis kelamin, nomor TPS (tempat pemungutan suara) dan kelurahan. Kita sederhanakan," ujar Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay di Gedung KPU, Jakarta, Rabu (30/10/2013).
Ia mengatakan, proses pengubahan tampilan itu bukan hal yang sulit. Jadi, kata dia, hanya dalam waktu satu atau dua jam, tampilan akan berubah. "Akan kami koreksi dalam waktu satu-dua jam," kata dia.
Dituturkannya, meski tidak lagi menampilkan NIK, warga tetap dapat mengecek eksistensi namanya dalam daftar pemilihan tetap (DPT). Dikatakannya, warga tetap dapat memasukkan NIK-nya untuk mengecek namanya. Namun, NIK itu hanya dapat diakses oleh KPU.
"Pendekatannya tetap setiap orang bisa mengecek dengan mudah. Yang akan kami rapikan adalah data yang bisa dibaca tidak semuanya," lanjutnya.
Pakar telematika dan forensik digital Ruby Alamsyah mengatakan, sistem data pemilih yang digunakan KPU tidak memiliki tingkat keamanan yang cukup. Bahkan, sistem teknologi informasi (TI) ini rawan disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Dia mengatakan, data yang ditampilkan dalam Sidalih terlalu transparan.
"Pihak-pihak tertentu bisa saja memanfaatkan data yang ada untuk mencari alamat orang lain untuk tujuan yang tidak baik," kata Ruby.
Menurut Ruby, ekspos data pribadi yang terlalu berlebihan akan mengganggu hak privasi seseorang. Ekspos data pribadi yang berlebihan berpotensi melanggar Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.