Tim Redaksi
”Politik dinasti membuat demokrasi kehilangan daya tarik di mata publik,” kata pengajar sosiologi Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (15/10).
Wacana politik dinasti belakangan mencuat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, dalam kasus dugaan suap ke Ketua Mahkamah Konstitusi (nonaktif) Akil Mochtar.
Kasus itu memunculkan dugaan adanya praktik politik dinasti di Banten. Namun, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie mengatakan, keluarga Atut dipilih sesuai dengan aturan yang ada. Jika mau diubah, aturannya harus diubah.
Namun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan, meskipun konstitusi ataupun undang-undang tidak melarang orang yang memiliki hubungan kekerabatan menduduki jabatan di daerah, ada batasan norma kepatutan.
Menurut Presiden, berbahaya jika kekuasaan politik dan kekuasaan bisnis menyatu di daerah (Kompas, 12/10).
Namun, belakangan juga beredar nama sejumlah kerabat Presiden Yudhoyono yang menjadi calon anggota legislatif dari Partai Demokrat pada Pemilu 2014.
Ketua Harian Partai Demokrat Sjarifuddin Hasan menyatakan, pencalonan sejumlah kerabat Yudhoyono itu tidak menjadi masalah karena telah memenuhi batas kepatutan yang diadopsi Partai Demokrat.
”Pertama, dia memiliki kemampuan atau kualitas. Kedua, harus dibatasi. Di Partai Demokrat, misalnya, dibatasi tidak boleh lebih dari dua dalam satu keluarga inti,” kata Sjarifuddin.
DPR dan pemerintah
Sementara itu, pimpinan Panitia Kerja Rancangan Undang- Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) Komisi II DPR, Arif Wibowo, menyatakan, semua fraksi di DPR sepakat mencegah adanya praktik politik dinasti. Namun, mereka belum sepakat dengan model pencegahan yang diusulkan pemerintah karena dapat berarti mengebiri hak politik warga negara.
Untuk mencegah politik dinasti, dalam Pasal 12 Huruf (p) RUU Pilkada yang disusun pemerintah disebutkan, calon gubernur tidak boleh memiliki ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur, kecuali ada selang waktu minimal satu tahun. Sementara dalam Pasal 70 Huruf (p) disebutkan, calon bupati tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur dan bupati/wali kota, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan.
”Kami mengusulkan jalan tengah, antara mencegah politik dinasti yang cenderung menyeleweng dan jaminan terhadap hak politik warga negara. Misalnya dengan memperberat syarat pencalonan agar tak muncul calon karbitan dari keluarga kepala daerah. Kepala daerah juga harus mundur jika ada kerabatnya ikut pilkada,” ujar Arif.(IAM/NTA/OSA/WHY/ILO)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.