Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Analisis Politik: Berburu Gengsi, Abai Prestasi

Kompas.com - 23/07/2013, 09:56 WIB


J. Kristiadi

KOMPAS.com - Meskipun rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi, ternyata tidak mudah rakyat Indonesia menjadi pemenang tulen pada Pemilihan Umum 2014. Bahkan pesta demokrasi sebagai festival yang seharusnya merayakan kedaulatan rakyat dihantui oleh sikap skeptis dan apatisme publik terhadap faedah dan kemaslahatan pemilu.

Penyebab utamanya adalah tingkat kepercayaan rakyat terhadap lembaga politik dan negara semakin merosot. Rendahnya keterandalan lembaga-lembaga tersebut dipertegas dengan beberapa survei akhir-akhir ini. Indikatornya, potensi pemilih yang menyatakan belum tahu atau tidak memilih berkisar 30 persen sampai 40 persen.

Bahkan pada beberapa kasus pilkada kepala daerah, proporsi kemenangannya lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang tidak memilih (golput), misalnya Pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara. Namun, yang tidak kalah memprihatinkan adalah apatisme di kalangan pemilih muda yang jumlahnya sekitar 30 juta orang. Proporsi mereka yang tidak peduli politik, dan pemilu pada khususnya, diperkirakan sangat besar. Tanpa usaha serius memberikan advokasi kepada mereka, dikhawatirkan generasi muda akan kedap terhadap masa depan nasib bangsa dan negaranya.

Partai politik, sebagai sumber daya manusia yang menyediakan penguasa untuk mengelola kekuasaan negara, lebih mengesankan menampilkan diri sebagai sosok pemangsa kekayaan negara daripada ”insan” yang punya empati tinggi terhadap derita rakyat. Getaran yang dirasakan oleh publik, orientasi politisi hanya fokus kepada pesona kekuasaan. Mereka mengabaikan prestasi yang seharusnya diukir melalui kerja keras yang memihak kepada kepentingan rakyat.

Akibatnya, sebagaimana survei yang dilansir Harian Kompas, Senin, 22 Juli, pemerintahan SBY, tegasnya Presiden dan kabinet koalisinya, menjelang usai masa kerja semakin lunglai daya empatinya terhadap kehidupan rakyat yang semakin sulit. Ketidakcakapan negara dalam menyelenggarakan pemerintahan akan mengakibatkan modal sosial terkuras habis disedot oleh para pemangsa kekayaan negara.

Alih-alih mereka mewariskan legasi yang dapat menjadikan pemegang kedaulatan sebagai pemenang otentik pemilu, mereka kebanyakan justru berburu gengsi dan menebar citra dengan sejumlah ulah. Mulai dari mematut diri, berpenampilan perlente, berperilaku santun, ramah, serta perilaku narsistik dan seronok lainnya. Perilaku mengagumi diri sendiri tidak jarang disertai imbauan bernada sakral serta mengumbar janji-janji populis yang dianggap mudah mengelabui publik. Mengumbar nilai-nilai luhur dan iktikad tanpa keteladanan dan jaminan pelaksanaan hanya akan menjadikan ranah publik menjadi lautan kemunafikan.

Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi memang beberapa kali memperingatkan, bahkan geram dan marah kepada para pembantunya. Pemicunya, mereka dianggap kurang sigap dan serius menangani masalah mendesak, terlambat memberikan laporan, atau mengantuk saat mendengarkan pengarahan.

Presiden uring-uringan bukan tindakan keliru karena perilaku tersebut merupakan bagian dari kodrat manusia. Namun, sebagai pejabat publik dan pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dan mendapat dukungan politik hampir 75 persen di parlemen, Presiden tidak boleh berhenti pada titik itu. Otoritas politik yang besar menjadi tumpuan harapan rakyat agar Presiden menggunakan kekuasaannya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Kegusaran Presiden yang tidak disertai dengan kebijakan konkret justru akan menimbulkan persepsi kemarahan tersebut hanya bagian aksesori politik dalam menyusun desain pencitraan. Bahkan dapat menimbulkan spekulasi Presiden ingin memberikan kesan, dia telah bekerja keras, tetapi para pembantunyalah yang kurang tanggap dan cakap dalam menerjemahkan kebijakan umumnya. Dia seakan menarik garis tegas kegagalan pemerintahan adalah kegagalan pembantunya, bukan Presiden.

Harapan publik kepada pemerintahan SBY, sisa waktu pemerintahannya seyogianya dimanfaatkan secara maksimal menggenjot prestasi, bukan berburu gengsi dan menebar sensasi. Agenda tersebut antara lain niat politik mencari terobosan dan konsensus politik yang dapat dijadikan jejak awal dan tanda-tanda yang dapat memberikan harapan publik.

Pemerintahan SBY, dengan modal dukungan lebih dari 60 persen suara, antara lain harus mendorong beberapa regulasi yang sedang dalam pembahasan di DPR, kalaupun tak dapat diselesaikan pada akhir masa jabatannya, membangun kesepakatan politik agar regulasi-regulasi tersebut benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat. Misalnya, RUU yang berkaitan dengan regulasi politik, seperti RUU Pilpres, RUU Pilkada, RUU Desa, Revisi UU Nomor 32/2004 tentang Pemda, Revisi UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua, agar menghasilkan pemerintahan yang efektif, demokratis, dan bebas korupsi politik.

Upaya ini sekaligus kesempatan para kandidat anggota DPR, yang sebagian besar adalah petahana dan mendapatkan rapor merah dari publik, dengan spirit pertobatan, memperbaiki citranya bukan melalui penampilan, melainkan dengan komitmen mereka kepada kepentingan publik. Khususnya kepada Presiden, agenda tersebut dapat dijadikan karya besar (magnum opus) dan diwariskan ke pemerintahan yang akan datang dan masyarakat pada umumnya. Momentum bulan suci Ramadhan ini, sangat tepat waktunya para elite politik melakukan tapa ngame, mengendalikan nafsu dan bekerja keras untuk rakyat. Perburuan gengsi bau terasi harus segera diakhiri.

(J Kristiad,Peneliti Senior CSIS)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dikonfrontasi Jaksa, Istri SYL Tetap Bantah Punya Tas Dior dari Duit Kementan

Dikonfrontasi Jaksa, Istri SYL Tetap Bantah Punya Tas Dior dari Duit Kementan

Nasional
Bos Maktour Travel Mengaku Hanya Diminta Kementan Reservasi Perjalanan SYL ke Saudi, Mayoritas Kelas Bisnis

Bos Maktour Travel Mengaku Hanya Diminta Kementan Reservasi Perjalanan SYL ke Saudi, Mayoritas Kelas Bisnis

Nasional
Jadi Tenaga Ahli Kementan, Cucu SYL Beralasan Diminta Kakek Magang

Jadi Tenaga Ahli Kementan, Cucu SYL Beralasan Diminta Kakek Magang

Nasional
Jadi Ahli Sengketa Pileg, Eks Wakil Ketua MK: Sistem Noken Rentan Dimanipulasi Elite

Jadi Ahli Sengketa Pileg, Eks Wakil Ketua MK: Sistem Noken Rentan Dimanipulasi Elite

Nasional
Putusan Bebas Gazalba Saleh Dikhawatirkan Bikin Penuntutan KPK Mandek

Putusan Bebas Gazalba Saleh Dikhawatirkan Bikin Penuntutan KPK Mandek

Nasional
Polemik Putusan Sela Gazalba, KPK Didorong Koordinasi dengan Jaksa Agung

Polemik Putusan Sela Gazalba, KPK Didorong Koordinasi dengan Jaksa Agung

Nasional
Jadi Ahli Sengketa Pileg, Eks Hakim MK: Mayoritas Hasil Pemilu di Papua Harus Batal

Jadi Ahli Sengketa Pileg, Eks Hakim MK: Mayoritas Hasil Pemilu di Papua Harus Batal

Nasional
UKT Batal Naik Tahun Ini, Pemerintah Dinilai Hanya Ingin Redam Aksi Mahasiswa

UKT Batal Naik Tahun Ini, Pemerintah Dinilai Hanya Ingin Redam Aksi Mahasiswa

Nasional
Komisi X Apresiasi Pemerintah karena Batalkan Kenaikan UKT Mahasiswa

Komisi X Apresiasi Pemerintah karena Batalkan Kenaikan UKT Mahasiswa

Nasional
Jokowi Bertemu Sekjen OECD di Istana Bogor

Jokowi Bertemu Sekjen OECD di Istana Bogor

Nasional
Anak SYL Sebut Siap Kembalikan Uang yang Dinikmatinya Usai Ditantang Jaksa

Anak SYL Sebut Siap Kembalikan Uang yang Dinikmatinya Usai Ditantang Jaksa

Nasional
Usai Diduga Dibuntuti Densus 88, Jampidsus Kini Dilaporkan ke KPK

Usai Diduga Dibuntuti Densus 88, Jampidsus Kini Dilaporkan ke KPK

Nasional
Bantah Minta Rp 200 Juta untuk Renovasi Kamar, Anak SYL: Enggak Pernah Terima Angka Segitu Fantastis

Bantah Minta Rp 200 Juta untuk Renovasi Kamar, Anak SYL: Enggak Pernah Terima Angka Segitu Fantastis

Nasional
Akui Minta Rp 111 Juta untuk Aksesori Mobil, Anak SYL: Saya Ditawari

Akui Minta Rp 111 Juta untuk Aksesori Mobil, Anak SYL: Saya Ditawari

Nasional
Saksi Ungkap soal Grup WhatsApp Bernama 'Saya Ganti Kalian' di Era SYL

Saksi Ungkap soal Grup WhatsApp Bernama "Saya Ganti Kalian" di Era SYL

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com