Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gerindra Minta DPR Dengar Pandangan Rakyat soal Syarat Presiden

Kompas.com - 10/07/2013, 13:37 WIB
Sandro Gatra

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
 — Partai Gerindra menyayangkan tertundanya pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden. Padahal, pelaksanaan Pemilu 2014 semakin dekat.

Pembahasan revisi UU tersebut dinilai tidak hanya menjadi domain Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi juga harus melibatkan masyarakat. Pandangan masyarakat mengenai persyaratan pengusungan calon presiden dan wakil presiden perlu didengar.

"Ini karena yang akan memilih presiden adalah rakyat. Perlu didengar aspirasi masyarakat soal syarat pencalonan," kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon di Jakarta, Rabu (10/7/2013), menanggapi revisi UU Pilpres yang menghadapi jalan buntu.

Sebelumnya, pembahasan revisi UU Pilpres di Badan Legislasi DPR masih mandek tanpa ada keputusan apa pun. Perdebatan paling krusial terletak pada persyaratan ambang batas presiden, yakni 20 persen perolehan kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional.

Fadli mengatakan, pihaknya sama sekali tidak khawatir meskipun ambang batas presiden tidak berubah. Ia yakin dapat mencapai syarat tersebut. Namun, katanya, persyaratan itu bertentangan dengan konstitusi.

Dalam Pasal 6 UUD 1945, lanjut Fadli, tidak diamanatkan penetapan ambang batas presiden. Konstitusi hanya menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden diajukan oleh parpol atau gabungan parpol.

"Oleh karenanya, penetapan angka ambang batas jelas melanggar konstitusi dan mencederai prinsip civil rights dalam sistem demokrasi. Tanpa ambang batas pun sistem presidensial kita sudah sangat kuat, bahkan terkuat di dunia," kata Fadli.

Ia menambahkan, ambang batas presiden hanya membuat praktik politik transaksional terus berlanjut. Selain itu, tokoh-tokoh terbaik sulit mendapat kesempatan untuk menjadi calon pemimpin selanjutnya.

"Bahkan, hal ini merupakan cermin oligarki partai secara sistemik yang melukai penghormatan terhadap hak setiap warga negara. Pada akhirnya, oligarki partai inilah yang memangkas hak konstitusi warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Sebaiknya pembicaraan ini dibawa ke diskursus publik," paparnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

     PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

    PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

    Nasional
    Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

    Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

    Nasional
    LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

    LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

    Nasional
    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    Nasional
    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    Nasional
    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Nasional
    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Nasional
    'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    "Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    Nasional
    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Nasional
    Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

    Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

    Nasional
    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Nasional
    Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Nasional
    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

    Nasional
    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Nasional
    Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com